Selasa, 16 Maret 2010

Editorial Buletin KDAKI Edisi I: Quo Vadis OKAPPS, Mahasiswa, & Pemuda?

OKAPPS lagi..OKAPPS lagi, demikian kondisi umum yang tampak dari serangkaian agenda akademis bagi PT (Perguruan Tinggi) dalam menyambut MABA (Mahasiswa Baru)-nya. Beragam bentuk aksi-aksi menggelikan telah menghiasi agenda OKAPPS (Orientasi Kegiatan Akademik dan Pengenalan Program Studi). Ada yang mengundang tawa, tetapi ada juga yang menimbulkan kericuhan dalam pelaksanaannya, tapi itulah dinamika OKAPPS.

Serangkain kegiatan OKAPPS yang dirancang, diharapkan mampu menginspirasi MABA untuk mengenal, beradaptasi, dan memiliki orientasi masa depan dalam bidang keilmuannya. Dan akhirnya MABA tercerahkan mengenai siapa dan bagaimana harus berjalan dalam identitas sebagai seorang MAHASISWA. Namun, disayangkan tujuan baik itu, acap kali dalam teknisnya banyak mengalami pembiasan. Banyak hal ditenggarai sebagai penyebab, tetapi biarlah pencarian “kambing hitam” tidak menjadi bagian dari kita dalam menghadapi situasi ini.

Sebagai calon pemimpin, kita diharapkan mampu berpartisipasi solusi dalam memandang persolan-persoalan dalam OKAPPS. Memikirkan bagaimana seharusnya OKAPPS kedepan, dan berpikir keras untuk membenahi yang salah, tanpa menghakimi mereka yang telah “kilaf”, namun berpartisipasi dalam pelaksanaan OKAPPS. Sikap itulah yang terpenting. Sebab, tentu melaksanakan agenda OKAPPS tanpa kekurangan bukanlah hal yang mudah, namun bukan berarti tidak bisa! Membutuhkan kerjasama dan sikap rendah hati yang cukup agar tujuan itu bisa didekati.

Oleh sebab itu, sebagai bentuk tanggung jawab moral, dan sebagai bagian dari civitas akademika, kami dari KDAKI (Kelompok Diskusi Artikel Kristen Indonesia) dengan segala kelemahan, meminta ijin kepada pembaca untuk berbagi solusi dan masukan bagi gagasan pembenahan. Mudah-mudahan setiap untaian kata dalam setiap sudut tulisan memberi pencerahan, dan masukan yang cukup bagi kita semua dalam memandang perbaikan pelaksanaan OKAPPS kedepan. Disamping ada beberapa tulisan lain sebagai sarana kritis terhadap gagasan-gagasan.

Setiap bagian tidak diharapkan menyudutkan pihak tertentu, tetapi uraian hanya dimaksudkan sebagai validitas data dan analisa agar mencapai sebuah gagasan yang obyektif.

Akhir kata, besar harapan kami (dibaca; KDAKI) setiap masukan dengan tema Quo Vadis (Latin; Mau Kemana?) OKAPPS, Mahasiswa, dan Pemuda ini bermanfaat dan mencerahkan kita semua. Soli Deo Gloria
Oleh: R. Graal Taliawo

OKAPPS??

Oleh: Mardiks Ludwik S.

OSPEK atau lebih dikenal, khususnya di UNMER (Universitas Merdeka) dengan isitilah OKAPPS adalah program yang bertujuan mengenalkan kampus, dan diharapkan dapat membuka ruang pikir mahasiswa baru tentang apa yang harus dipersiapkan, dan apa yang harus dikerjakan. Tetapi seiring waktu, esensi dari program tersebut mulai bergeser. Kita ambil contoh kegiatan mencari benda-benda aneh, ataupun makanan yang diistilahkan dengan nama yang aneh-aneh. Aneh, sebab terkadang apa yang dikerjakan jauh dari makna akademis. Nilai apa yang mau ditanamkan kepada mahasiswa? Apakah hanya untuk seru-seruan atau sebagai topeng untuk membalas dendam? Renungkanlah.

Lebih parah lagi, kini OKAPPS cenderung dalam pelaksanaannya ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu, seperti kasus yang menghiasi OKAPPS di UNMER beberapa hari yang lalu.

Harus diakui, setidaknya ini mengindikasikan telah terjadi degradasi yang mengkhawatirkan, khususnya makna dari OKAPPS. Mau kemana arah bangsa ini jika yang menjadi tulang punggung Bangsa dan Negara berada dalam kondisi demikian?

Program OKAPPS harus ditinjau kembali, dan kedepan harus diisi dengan kegiatan penanaman nilai-nila yang diperlukan oleh mahasiswa. OKAPPS harus kembali kepada esensinya agar program ini bukan semata sebagai tradisi atau rutinitas tanpa makna. Melainkan melalui OKAPPS mahasiswa baru dimengertikan mengenai apa yang harus menjadi bagiannya, apa yang menjadi panggilan hidup serta apa yang menjadi tujuan hidupnya. Semoga!!!

Mahasiswa Pencegah Korupsi, yakinkah?

Oleh: R. Graal Taliawo

Setuju dengan apa yang disampaikan oleh Ferry Muryidan Baldan (mantan ketua umum PB HMI) tentang keadaan mahasiswa saat ini yang diwakili oleh keadaan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Pendapatnya mengiringi kongres HMI ke-26 yang diadakan di Palembang. Ferry M. B mengambarkan keadaan yang memang benar-benar terjadi. Mahasiswa sedang krisis intelektual, kerdil pemikiran, sempit wawasan dan menjadi orang-orang yang pragmatis adalah fakta yang tidak bisa dibantah. (Sindo tanggal 2 agustus 2008).

Mahasiswa adalah salah satu komponen pelopor sebuah perubahan. Mahasiswa pasca reformasi ternyata hilang arah, disfungsi dan gagal menjalankan fungsinya, sebagai agen perubahan, fungsi kontrol sosial dan pelopor intelektual. Di sisi lain keadaan bangsa kita semakin sekarat. Tindakan korupsi terus terjadi dan cenderung menjadi penyakit stadium tingkat tinggi. Proses penyembuhan tetap berjalan akan tetapi berjalan alot dan butuh waktu. Penyebabnya hampir di semua lembaga (termasuk lembaga penegak hukum) melakukannya. Fakta yang mengerikan dan membuat kita lemas dalam memahaminya, namun demikianlah kondisinya. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang beberapa tahun ini telah menjadi senjata ampuh pun, kini rame-rame dilumpuhkan.

Saat ini bangsa Indonesia membutuhkan sentuhan pemikiran yang matang dan radikal untuk keluar dari masalah korupsi. Kita membutuhkan solusi komprehensif dari semua komponen untuk mengatasi setiap krisis ini.Mahasiswa, secara ideal seharunya mempelopori hal itu, tetapi pertanyaannya, apakah keadaan mahasiswa, saat ini cukup memberikan indikasi untuk melakukannya?

Penggambaran Ferry M. B tidak salah tetapi tidak sepenuhnya benar. Kondisi mahasiswa yang digambarkannya bisa kita temui, tetapi kita juga masih bisa bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa berprestasi, berpikir, bergumul serta konsen terhadap persoalan bangsa, khususnya persoalan korupsi. Keadaan ini menunjukan di situasi yang sulit kita masih menyisahkan setitik harapan bagi perubahan.

Mahasiswa! waktunya bangkit dari tidur untuk berkontribusi solusi bagi permasalahan bangsa kita.

Setidaknya terbuka ruang bagi mahasiswa untuk berkontribusi solusi dalam pemberantasan korupsi. Dan hal itu bisa terjadi dengan; Pertama bersifat jangka panjang, Mahasiswa secara pribadi harus dibentuk, membentuk diri, tidak menciptakan dan mengambil kesempatan untuk korupsi (penyalahgunaan dana, jabatan dan wewenang saat berada di lembaga kampus). Mahasiswa yang telah terbiasa korupsi kecil-kecilan di kampus akan membawa tabiat buruk itu dalam masyarakat kelak (mengiingat secara psikologi, masa kuliah merupakan fase penentuan pembentukan paradigma dan sikap kita). Jadi didiklah dirimu sejak dini.

Kedua, melalui kontrol sosial yang ketat dan kritis. Mahasiswa bisa medorong masyarakat bernalar kritis untuk memahami kasus-kasus yang berpotensi menimbulkan korupsi. Sehingga menolong kebiasaan mencegah terhadap terjadinya korupsi. Hal ini bisa dilakukan melalui akses aktif informasi kepada pihak penegak Hukum. Disamping itu, tindakan aktif ini harus diiringi dengan aktif akses informasi melalui media masa, acara diskusi, seminar.

Ketiga, fungsi mendidik. Banyak kasus korupsi tidak terdeteksi karena keterbatasan masyarakat dalam memahami indikasinya. Mahasiswa dengan bekal Ilmu dapat membantu dan mendorong masyarakat untuk kritis dalam hal ini. Dan sarana itu bisa dilakukan melalui forum-forum diskusi informal, obrolan santai diwarung kopi dll.

Mudah-mudahan mahasiswa sadar untuk andil dalam pemberantasan korupsi, seberapapun itu. Sebab kehadiranmu dibutuhkan. Harapan!!!

Kualitas OKAPPS; Bangunlah Sebuah Tradisi

Oleh: Jandry Manu

Apa sih OSPEK itu? OSPEK adalah Masa Orientasi dan Pengenalan Kampus. Demikian istilah untuk kegiatan itu. Dan umumnya OSPEK sudah dilaksanakan bertahun-tahun, dan bahkan menjadi sebuah agenda rutin disetiap kampus. Di UNMER (Universitas Merdeka) OSPEK lebih dikenal dengan istilah OKAPPS yaitu Orientasi Kegiatan Akademik dan Pengenalan Program Studi.

Dalam rangkaian agenda OKAPPS, terdapat juga kegiatan “Kampoeng Mahasiswa”, di mana melalui kegiatan ini, mahasiswa baru diperkenalkan dengan berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di UNMER. Sungguh menggangumkan ketika melihat OKAPPS secara garis besar dengan rangkaian kegiatannya. Namun, apa sih makna diadakannya OKAPPS? Apakah dengan OKAPPS mahasiswa baru (MABA) lebih mengenal kampusnya, dan kegiatan keilmuan di dalamnya? Atau jangan-jangan OKAPPS hadir hanya karena sebuah “tradisi“ saja, yang telah dilakukan bertahun-tahun?!

Berlangsungnya OKAPPS dengan baik dan efektif adalah suatu kondisi atau hal yang penting. Sebab, dengan demikian tujuan diadakan OKAPPS akan tercapai dan MABA pun akan mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Tapi apakah OKAPPS, khususnya di UNMER telah berlangsung dengan baik?

Seperti yang kita ketahui, dan harus diakui, dan telah menjadi rahasia umum, pelaksanaan OKAPPS tahun 2009/2010 di UNMER bisa dikatakan kurang sukses dan kurang mencapai sasaran. Meskipun ada beberapa rangkaian agenda OKAPPS yang berjalan baik, seperti program “Kampoeng Mahasiswa”, dll.

Hal ini dibuktikan dengan situasi pada hari pertama, yakni pada saat pembukaan OKAPPS. Bahwa terjadi permasalahan, yang kemudian membuat malu beberapa petinggi UNMER. Tentu, kita tidak serta-merta mencari kambing hitam, dan menyalahkan pihak-pihak penyebab munculnya masalah itu. Yang terpenting adalah mencari sumber masalah, dengan bertanya mengapa sampai hal itu bisa terjadi? Dan bersolusi, agar kedepan hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi.

Dalam pengertian dan dari sisi tertentu, komunikasi yang bersifat dua arah adalah modal penting dalam berlangsungnya suatu kegiatan, termasuk dalam kegiatan OKAPPS. Kedepan, komunikasi seperti ini perlu dan harus dikembangkan, sehingga hal-hal yang berpotensi menimbulkan rmasalah bisa diminimalisir. Sebab, jika komunikasi berjalan lancar maka segala sesuatunya bisa dipersiapkan dengan matang, dan pada akhirnya menggurangi “miss communication” yang bisa memicu permasalahan bahkan memunculkan perselisihan.

Kembali kita melihat bahwa tujuan OKAPPS adalah mahasiswa baru lebih mengenal kampus dan berbagai kegiatan mahasiswa yang ada didalamnya. Karena itu, OKAPPS harus dikemas dengan baik dan bijaksana, agar menjadi moment dimana mahasiswa baru mendapatkan sesuatu yang bermakna bagi dia. Jadi, kedepan perlu ada perubahan perbaikan dari segi pelaksanaannya.

Hal ini perlu, sebab penyelenggaraan OKAPPS yang baik akan menjadi sebuah budaya atau cara yang dicontoh oleh mahasiswa baru. Dan otomatis kebiasaan baik itu akan dilanjutkan oleh mereka, sebagai generasi penerus. Dan akan FATAL hasilnya, jika kondisi sebaliknya yang terjadi dan membudaya. Anda mau? Saya tidak.

Dilema Media Massa; Sebuah Pandangan Terhadap Perubahan Orientasi Media Massa


Oleh: Viktor Kurniawan P.
Peranan media massa (selanjutnya disebut media) baik cetak maupun elektronik sangatlah sentral dalam mempengaruhi masyarakat. Media memiliki tanggung jawab sebagai pemberi informasi, mendidik, sarana hiburan, juga meneruskan nilai-nilai budaya masyarakat. Dengan demikian, media bisa dikatakan sebagai penjaga sebuah peradaban (jika bisa dikatakan demikian). Kenapa? Paling tidak ada beberapa alasan. Pertama, Media sebagai pemberi informasi mengacu pada peran media untuk memperlihat perkembangan-perkembangan pada masa kekinian sehingga menolong publik untuk mengerti, memahami situasi dan bertindak dengan tepat. Kedua, Media sebagai pendidik masyarakat mengacu kepada peran media untuk memberikan nilai-nilai yang positif kepada publik, membuka wawasan publik akan keseluruhan situasi yang ada pada jamannya. Ketiga, Media memiliki kemampuan efektif untuk meneruskan nilai-nilai luhur dari kebudayaan, sebuah sarana efektif untuk menanamkan nilai-nilai itu dalam pemikiran dan hidup masyarakat.

Pendapat di atas diperkuat oleh pernyataan Arpan dan Rochady dalam wartawan pembina masyarakat, menyebutkan bahwa diantara empat teori pers, teori tanggung jawab sosiallah yang dipakai dilingkungan negara demokrasi (Indonesia adalah negara demokrasi). Apa teori tanggung jawab sosial itu? Teori ini menyatakan bahwa media memiliki prinsip etika untuk memperjuangkan kepentingan segala lapisan masyarakat.

Namum, kenyataannya sangatlah berbeda terutama di masa-masa sekarang, dimana media hampir kehilangan identitasnya sebagai penjaga kebudayaan. Ini adalah sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri, media telah berada pada titik dimana kepentingan ekonomi menjadi sebuah tujuan yang harus dicapai. Media elektronik misalnya mereka berlomba-lomba untuk menciptakan sebuah acara yang memiliki rating tinggi sehingga berdampak kepada pemasukan mereka dari sisi iklan. Kebijakan seperti ini adalah bom waktu. Bagaimana tidak, transformasi nilai di dalam masyarakat (pada masa sekarang) banyak ditentukan oleh media. Sebab, masyarakat saat ini hidup ditengah-tengah hingar bingar media, sehingga kegagalan media menjalankan tanggung jawab sosialnya berarti menolong peradaban untuk mundur.

Pernyataan ini didukung oleh realita. Saat ini banyak bermunculan koran-koran yang mengangkat masalah kriminal dan seks, atau tabloid-tabloid gossip, yang tentu saja pertanggung jawaban sosialnya tidak jelas. Media elektronik pun demikian, isu-isu tentang artis menjadi sebuah komoditi yang seolah penting bagi publik, acara-acara hiburan yang sejenis, realiti-realiti show yang menguak penyakit-penyakit sosial di dalam masyarakat, semacam perselingkuhan atau sejenisnya dan masih banyak lagi. Saya setuju disana tetap ada peran sosial media (minimal pemberi informasi) tetapi dampak negatif dari materi-materi tersebut haruslah menjadi perhatian serius.

DIMANA DILEMANYA?
Ulasan di atas seolah sedang memaparkan kegagalan media dalam menjalankan fungsinya. Hal tersebut memang tepat, tetapi tidak sepenuhnya demikian, kita perlu tahu dimana sumber kegagalan tersebut.

MEDIA KEKINIAN BERADA PADA SEGITIGA BEMUDA (SEBUAH PERUMPAMAAN) YAITU TANGGUNG JAWAB SOSIAL, PENGUASA, DAN EKONOMI. SEGITIGA EMAS INI MEMBUAT MEDIA HARUS MEMPOSISIKAN DIRI SECARA TEPAT SUPAYA DAPAT BERTAHAN, TERUTAMA MEDIA DI INDONESIA. MASIH TERBAYANG DALAM INGATAN SAYA, TEMPO DI BREDEL PEMERINTAH PADA JAMAN ORDE BARU KARENA GAGAL MENEMPATKAN DIRI PADA SEGITIGA EMAS TERSEBUT. ATAU BERPINDAHNYA SEBAGIAN KEPEMILIKAN SEBUAH STASIUN SWASTA KE TANGAN ASING KARENA PERMASALAHAN MODAL.

Sehingga, secara langsung kita tidak bisa menyalahkan media sebab mereka harus bisa memposisikan diri baik dalam kepentingan pemerintah, ekonominya, dan masyarakat. Tetapi, mengacu pada nilai-nilai kebenaran maka media tidak bisa kompromistis, media harus memiliki sikap terhadap kebenaran itu.

Namum, memang tidak sesederhana itu. Perjuangan itu akan berat, karena idealisme yang dibawa media belum tentu bisa diterima masyarakat. Jika idealisme media tidak memiliki tempat di dalam masyarakat, maka faktor-faktor ekonomi akan membunuh mereka secara berlahan.

Situasi ini mengharuskan media berjalan dipinggiran segitiga sehingga tidak tenggelam di dalam konfrontasi yang berkepanjangan antara tanggung jawab, ekonomi, dan penguasa. Pinggiran yang di pilih adalah budaya pop, sesuatu yang popular, ditengah-tengah dan bisa diterima oleh masyarakat, walaupun dampaknya negatif sekalipun.
Bagaimana sikap kita?

Kondisi ini sungguh memprihatinkan, tetapi ditengah pergulatan media dengan kondisi internal dan ekternalnya, kita harus mulai bersikap kritis dalam mengkonsumsi media, dan memulai bergerak maju untuk mempengaruhi media, terlibat dalam sistemnya sehingga media dapat kembali kepada rel yang tepat.

Perjuangan ini, bukan menuntut media untuk serta merta berubah. Semuanya harus melewati proses yang panjang, melalui transformasi pemikiran, dimulai dari diri sendiri, orang lain, masyarakat dan media pada akhirnya. Kenapa harus demikian? Sebab media sangat dipengaruhi oleh opini yang berkembang di dalam masyarakat, sehingga yang harus dilakukan adalah mempengaruhi masyarakat sebagai sasaran dari media.
Gerakan merubah media berarti mentransformasi masyarakat, menjadi lebih kritis dan objektif, dan terdidik. Sepakat? Saya sepakat. Anda?

Visi dan Makna OKAPPS yang Terdistorsi

Oleh: Viktor Kurniawan P.

Masa Mahasiswa: Sebuah Evaluasi, dan Mimpi
Sebuah tradisi setiap tahunnya, selepas penerimaan mahasiswa baru dilaksanakan satu kegiatan yang disebut masa orientasi mahasiswa (dengan istilah yang berbeda-beda di masing-masing universitas). Sebuah kegiatan yang memiliki tujuan untuk mengenalkan mahasiswa baru pada dunia kampus, secara spesifik pada dunia mahasiswa, dan sisi-sisi intelektualitas di dalamnya. Tetapi, tradisi ini sedikit demi sedikit mulai bergeser dari tujuan awalnya. Tradisi ini digunakan sebagai ajang pencarian masa, pertunjukan eksistensi diri, dan perploncoan pada akhirnya. Jelas ini bukanlah tujuan awal dari kegiatan ini.

Walaupun himbauan untuk kembali kepada tujuan awal dari kegiatan ini terus didengungkan, tetapi penyelewengan terhadap tujuan tetap saja terjadi.

Di sebuah Universitas di Malang, pihak rektorat memutuskan untuk menghentikan kegiatan orientasi mahasiswa di salah satu fakultasnya, karena adanya laporan pemukulan yang dilakukan mahasiswa lama yang terlibat kepanitiaan. Tidak hanya kekerasan, nilai-nilai etika pun luntur didalam penyelenggaraan kegiatan ini. Salah satu contoh riil adalah sambutan rektor yang diboikot oleh salah satu fakultas di salah satu universitas swasta di Malang, dengan alasan yang tidak jelas, dan ironisnya hampir saja menimbulkan kericuhan. Apapun alasannya, praktik-praktik tersebut menunjukkan sebuah fakta bahwa telah terjadi dis visi dalam pelaksanaan kegiatan orientasi mahasiswa. Kegagalan melihat visi secara tepat jelas akan berdampak besar, tidak hanya jangka pendek tetapi juga jangka panjang.

Mimpi dan sisi strategis masa orientasi Mahasiswa
Kegagalan melihat visi ini jelas mendistorsi kepentingan luhur dari tujuan masa orientasi mahasiswa. Padahal, kegiatan ini memiliki sisi strategis bagi mahasiswa, kampus, dan bagi masyarakat, yang tentu saja akan mempengaruhi bangsa.

Pengenalan yang tepat pada mahasiswa baru terkait dengan dunia kampus, akan berdampak positif bagi mereka. Motivasi jelas akan meningkat, dan menolong mereka untuk menyesuaikan diri dari dunia penuh aktivitas di sekolah menengah atas, kedalam dunia penuh kemandirian di dalam dunia kampus. Ini penting, sebab dengan mengenal dengan tepat maka mereka akan mengambil keputusan dengan tepat terkait dengan pengembangan diri, dan komunitas.

Kampus juga akan tertolong dengan keberadaan masa orientasi yang berkualitas. Kenapa? Dengan pengenalan yang tepat kepada mahasiswa baru, menimbulkan keteraturan kepada mahasiswa, ini menolong kampus untuk mengakomodasikan mereka di dalam ruang-ruang pembelajaran. Tidak hanya itu, citra kampus dimata mahasiswa tidak tercoreng, ini mereduksi kecurigaan terhadap kampus, pimpinan kampus, sehingga mahasiswa terkonsentrasi terhadap pembelajaran dan pengembangan diri dengan maksimal. Hal ini jelas akan berdampak signifikan terhadap kualitas kampus di mata publik.

Masa orientasi mahasiswa merupakan pondasi awal untuk perubahan bangsa di masa mendatang. Ini adalah sarana yang esensial untuk meletakan jiwa kebangsaan kepada mahasiswa baru, meletakan sebuah pandangan tentang tujuan mereka belajar dan berkuliah, mengajarkan mereka tentang visi hidup. Keberadaan mahasiswa-mahasiswa yang bervisi jelas akan menopang kehidupan bangsa di masa mendatang. Harapan!!!

Terorisme: Budaya Baru Indonesia, Benarkah?

Oleh: R. Graal Taliawo

Ketika suatu tindakan dilakukan berulang kali dan menjadi kebiasaan, maka tidak menutup kemungkinan akan diterima, dan kemudian menjadi suatu yang lumrah untuk dilakukan. Tindakan teror telah berulang kali terjadi, dan saat ini, sudah menjadi buah perdebatan; apakah dibenarkan atau tidak jika dilakukan. Aneh! Sebab secara rasional (apalagi perasaan) hal itu tak layak diperdebatkan lagi, tetapi harus ditolak! Yang penulis takutkan dengan munculnya berbagai perdebatan, kemungkinan besar tindakan membunuh dengan dalih agama, telah menjadi sebuah budaya baru di Indonesia. Sebab, perdebatan ini sekaligus menjadi indikasi ada di antara rakyat Indonesia yang membenarkan tindakan teror.

Menurut ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, 1996 : 72). Bertolak dari dari definisi ini, maka tindakan teror dalam pengertian tertentu masuk dalam kategori budaya. Sebab, tindakan membunuh, lepas dari segala kontroversinya, bertolak dari sebuah gagasan atau pemikiran. Dan inilah yang patut kita sedihkan, sebab sebagai negara berbudaya Pancasila, kehadiran terorisme di Indonesia jelas bertentangan.

Indonesia hampir dinyatakan bebas dari gangguan bom (tindakan teror). Namun, hal itu menjadi impian takkala tanggal 17 Juli 2009 bom kembali mengguncang Jakarta. Sejak tahun 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, dan terakhir 2009 kejadian pemboman seakan menjadi sebuah tradisi baru bangsa Indonesia. Yang membuat kita tersentak adalah adanya keterlibatan kaum muda dalam aksi tersebut. Walaupun, latar belakang mereka akan membuat kita lebih tersentak. Umumnya mereka yang terlibat adalah kaum muda, aktivis atau pun mantan aktivis agama. Ironis, sebab seharusnya dengan identitas itu, mereka tidak berada dalam budaya biadab ini. Jika dilihat, tindakan yang dilakukan tidak hanya menimbulkan korban jiwa, dan trauma bagi korban, namun membuat aktifitas ekonomi Indonesia menjadi terganggu.

Banyak hal yang ditengarai sebagai penyebab munculnya budaya teror ini. Namun, apa pun itu, tetap kita harus sepakat bahwa membom, membunuh dan merusak bukanlah sebuah solusi dan budaya yang benar.

Inilah salah satu kondisi dan aktivitas yang melibatkan generasi muda Indonesia saat ini. Membunuh dan menyakiti orang lain dilakukan dengan rela dan tanpa rasa kasih. Rasa kekeluargaan, toleransi dan tenggang rasa tidak lagi menjadi norma yang dihidupi. Akibatnya, kini ideologi Pancasila yang merupakan budaya berbangsa dan bernegara seakan menjadi hembusan angin belaka. Padahal sejak didirikannya negara ini, Pancasila dengan kelima silanya telah disepakati menjadi suatu budaya bangsa. Namun, budaya penerapan nilai-nilai Pancasila kini telah digeser oleh ideologi dan kepentingan yang lain.

Walaupun kini seakan menjadi budaya baru, bukan berarti budaya mengebom tidak bisa kita geser. Seperti prinsip; kebiasaan yang baik akan mengantikan kebiasaan yang buruk. Budaya menyelesaikan masalah dengan membom pun bisa kita dihilangkan. Tetapi untuk itu, sangat bergantung pada komitmen kaum muda untuk kembali menerapkan budaya berbudi luhur yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yakni, budaya yang menghargai dan menghormati orang lain, menerima perbedaan, serta membiasakan diri berpikir benar dan kritis. Yang terakhir bisa dilakukan melalui keikutsertaan dalam berbagai sarana pembinaan keagamaan dan diskusi-diskusi kelimuan yang membangun. Sehingga, dengan nalar yang sehat kaum muda tidak akan mudah dipengaruhi dengan pemahaman yang bertentangan dengan ideologi dan budaya bangsa Indonesia. Cukup sudah kaum muda dijadikan korban dan alat dari budaya biadab ini. Kaum muda harus menghentikan laju geraknya. Jika tidak bersiaplah, sebab ”membunuh” akan menjadi satu budaya baru di Indonesia. Harapan!!!