Selasa, 16 Maret 2010

Terorisme: Budaya Baru Indonesia, Benarkah?

Oleh: R. Graal Taliawo

Ketika suatu tindakan dilakukan berulang kali dan menjadi kebiasaan, maka tidak menutup kemungkinan akan diterima, dan kemudian menjadi suatu yang lumrah untuk dilakukan. Tindakan teror telah berulang kali terjadi, dan saat ini, sudah menjadi buah perdebatan; apakah dibenarkan atau tidak jika dilakukan. Aneh! Sebab secara rasional (apalagi perasaan) hal itu tak layak diperdebatkan lagi, tetapi harus ditolak! Yang penulis takutkan dengan munculnya berbagai perdebatan, kemungkinan besar tindakan membunuh dengan dalih agama, telah menjadi sebuah budaya baru di Indonesia. Sebab, perdebatan ini sekaligus menjadi indikasi ada di antara rakyat Indonesia yang membenarkan tindakan teror.

Menurut ilmu Antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat, 1996 : 72). Bertolak dari dari definisi ini, maka tindakan teror dalam pengertian tertentu masuk dalam kategori budaya. Sebab, tindakan membunuh, lepas dari segala kontroversinya, bertolak dari sebuah gagasan atau pemikiran. Dan inilah yang patut kita sedihkan, sebab sebagai negara berbudaya Pancasila, kehadiran terorisme di Indonesia jelas bertentangan.

Indonesia hampir dinyatakan bebas dari gangguan bom (tindakan teror). Namun, hal itu menjadi impian takkala tanggal 17 Juli 2009 bom kembali mengguncang Jakarta. Sejak tahun 2000, 2001, 2003, 2004, 2005, dan terakhir 2009 kejadian pemboman seakan menjadi sebuah tradisi baru bangsa Indonesia. Yang membuat kita tersentak adalah adanya keterlibatan kaum muda dalam aksi tersebut. Walaupun, latar belakang mereka akan membuat kita lebih tersentak. Umumnya mereka yang terlibat adalah kaum muda, aktivis atau pun mantan aktivis agama. Ironis, sebab seharusnya dengan identitas itu, mereka tidak berada dalam budaya biadab ini. Jika dilihat, tindakan yang dilakukan tidak hanya menimbulkan korban jiwa, dan trauma bagi korban, namun membuat aktifitas ekonomi Indonesia menjadi terganggu.

Banyak hal yang ditengarai sebagai penyebab munculnya budaya teror ini. Namun, apa pun itu, tetap kita harus sepakat bahwa membom, membunuh dan merusak bukanlah sebuah solusi dan budaya yang benar.

Inilah salah satu kondisi dan aktivitas yang melibatkan generasi muda Indonesia saat ini. Membunuh dan menyakiti orang lain dilakukan dengan rela dan tanpa rasa kasih. Rasa kekeluargaan, toleransi dan tenggang rasa tidak lagi menjadi norma yang dihidupi. Akibatnya, kini ideologi Pancasila yang merupakan budaya berbangsa dan bernegara seakan menjadi hembusan angin belaka. Padahal sejak didirikannya negara ini, Pancasila dengan kelima silanya telah disepakati menjadi suatu budaya bangsa. Namun, budaya penerapan nilai-nilai Pancasila kini telah digeser oleh ideologi dan kepentingan yang lain.

Walaupun kini seakan menjadi budaya baru, bukan berarti budaya mengebom tidak bisa kita geser. Seperti prinsip; kebiasaan yang baik akan mengantikan kebiasaan yang buruk. Budaya menyelesaikan masalah dengan membom pun bisa kita dihilangkan. Tetapi untuk itu, sangat bergantung pada komitmen kaum muda untuk kembali menerapkan budaya berbudi luhur yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yakni, budaya yang menghargai dan menghormati orang lain, menerima perbedaan, serta membiasakan diri berpikir benar dan kritis. Yang terakhir bisa dilakukan melalui keikutsertaan dalam berbagai sarana pembinaan keagamaan dan diskusi-diskusi kelimuan yang membangun. Sehingga, dengan nalar yang sehat kaum muda tidak akan mudah dipengaruhi dengan pemahaman yang bertentangan dengan ideologi dan budaya bangsa Indonesia. Cukup sudah kaum muda dijadikan korban dan alat dari budaya biadab ini. Kaum muda harus menghentikan laju geraknya. Jika tidak bersiaplah, sebab ”membunuh” akan menjadi satu budaya baru di Indonesia. Harapan!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar