Minggu, 18 April 2010

Editorial,

Perjalanan suatu bangsa tidak lepas dari perubahan. Bangsa Indonesia juga mengalami deras gemburan perubahan itu. Di tengah hiruk-pikuk gelombang kasus yang bermunculan, mulai dari kasus Bank Century, isu barter kasus, serta fakta penyimpangan atau korupsi pajak, Indonesia juga dihadapkan dengan berbagai tantangan perubahan ekonomi dunia. Penandatanganan berbagai perjanjian perdagangan bebas mendorong Indonesai segera berbenah dalam menghadapi konsekuensi-konsekuensi perjanjian itu. Bagaimana tidak, ketika perdangangan bebas mulai dijalankan, keluhan dari pelaku ekonomi domestik (lokal) mulai bermunculan. Bagi masyarakat, perdagangan bebas mungkin tidak terlalu berdampak. Namun, bagi pelaku ekonomi kecil, terutama yang bergerak dalam bidang tekstil, pelaksanaan perjanjian ini cukup mengonjangkan. Persaingan harga dan kualitas produk dari berbagai negara pun tak terelakan. Pelaku ekonomi tekstil dan pedangang kebutuhan harus memutar otak dan beradu strategi dalam berdagang. Pemerintah juga diminta melakukan langkah-langkah antisipatif melalui kebijakan pintar yang melindungi pelaku ekonomi nasional.

Di sisi lain, tuntutan perubahan dan percepatan reformasi birokrasi makin genjar dilakukan masyarakat pemerhati lembaga penyelenggara negara. Berbagai kasus korupsi yang mencuat semakin memiriskan hati dan harapan masyarakat terhadap aparatus kita. Lembaga yang menjadi contoh pelaksanaan reformasi birokrasi justru mengalami pendangkalan citra akibat kasus suap dan korupsi pajak yang menimpanya. Seorang PNS dengan golongan IIIA mampu mendulang harta karung dengan miliaran rupiah. Kondisi ini membenarkan mengapa lembaga internasional menempatkan kita sebagai salah satu negara terkorup di dunia, dan bahkan nomor satu di Asia Tenggara.

Selain itu, masyarakat, khususnya mahasiswa juga mengalami persoalan integritas dan krisis citra diri. Gejolak dan konflik mewarnai perjalanan kehidupan kampus beberapa bulan terakhir. Mahasiswa yang seharusnya menjadi motor penggerak dalam menantang dan menjawab perubahan terbukti “membleh” alias gagal menggemban tugas mulia ini. Mahasiswa terlalu sibuk dengan berbagai agenda, namun sayangnya semua agenda (kegiatan) itu berjalan asal dan tanpa dampak berarti bagi kehidupan bangsa ini. Kemiskinan idealisme dan miskin rujukan moral juga menimpa pergerakan mahasiswa. Akibatnya mahasiswa tak ubahnya identitas yang tak bermakna lebih, jika dibandingkan dengan identitas sosial lainnya.

Munculnya sarana komunikasi atau jejaring sosial baru menjadi sarana interaksi dan kekuatan penekan yang memadai. Bahkan, dalam beberapa kasus, seperti kasus Prita (kumpul koin), dan kriminalisasi KPK, berhasil diatasi berkat adanya jejaring sosial seperti Facebook (FB). Namun, adanya situs-situs ini juga menyulut berbagai masalah baru—akibat sikap penyimpangan terhadapnya. Bagaimana kita menyikapinya, apakah dengan mengharamkan FB? Tentu tidak! Yang harus dilakukan adalah mendorong terjadinya pendewasaan dan pembinaan moral terhadap masyarakat agar cerdas dalam mengunakan Facebook.

Dengan latarbelakang inilah, kami dari KDAKI (Kelompok Diskusi Artikel Kristen Indonesia) mempersembahkan Buletin Edisi ke-III sebagai sumbangsih dalam menatap perubahan. Semua paparan merupakan pergulatan idealisme dalam menyikapi fakta. Data dalam analisa dihadirkan sebagai dasar membangun argumentasi, sehingga jauh pula dari tujuan menyudutkan pihak-pihak tertentu.

Akhirnya, teriring doa dan besar harapan agar setiap bahasan mencerahkan nalar dan pikiran kita semua. Selamat membaca....
Oleh: R. Graal Taliawo

Indonesa di Tengah Tantangan Ekonomi Asia


Oleh: Banowati (Cand. S.E)

Sebagian kita tidak asing dengan istilah era globalisasi atau sering dipahami dengan era tanpa batas. Era tanpa batas inipun tidak hanya dalam bidang informasi, namun mencakup bidang lainnya. Dalam konteks ekonomi, Indonesia mulai memasuki era tersebut pada tahun 2002 melalui kesepakatan AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) untuk kawasan ASEAN. Kemudian Indonesia melalui Menteri Perdagangan pada tanggal 28 Februari 2009 bersama sejumlah menteri Perdagangan ASEAN, Australia dan New Zaeland menandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean, Australia, New Zealand Free Trade Area). Sementara itu, sejak bulan Januari 2010, perjanjian ASEAN-China juga mulai diberlakukan. Dan rencananya tahun 2020 untuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) di kawasan Asia dan Pasifik.

Pokok dari semua perjanjian itu adalah masing-masing negara, yang terlibat perjanjian, akan menurunkan tarif bea masuk barang dan jasa menjadi nol persen (0%)—dengan tahapan-tahapan yang disepakati. Pada perjanjian AANZA-FTA, sekitar 86% dari pos tarif Indonesia bertahap akan menjadi 0% pada 2015, atau sekitar 13% tarif menjadi 0% pada 2009. Dari Australia, 92 % menjadi 0% pada tahun pertama. Dan lebih dari 70% pos tarif Selandia Baru juga menjadi 0% di tahun pertama. Sementara produk peternakan, seperti daging dan susu dari kedua negara itu dinolkan pada tahun 2017—2020.

Jika semua tarif diturunkan menjadi 0% maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor kian meninggi. Hal ini disebabkan oleh produksi dalam negeri yang masih belum memadai dan mampu memenuhi kebutuhan. Dan sementara itu, industri pertanian dalam negeri yang kini terseok akibat gempuran produk impor akan semakin terpukul dan tergilas. Perjanjian perdagangan memberi pengaruh jangka panjang bagi kondisi perdagangan dalam negeri, khususnya Indonesia. Kemudahan dan rendahnya biaya impor berpotensi menjadikan Indonesia kian bergantung dengan produk luar. Terlebih karena pandangan masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur dengan konsep, “bahwa produk impor pasti lebih berkualitas”. Di sisi lain, pasar lokal adalah lahan potensial bagi industri dalam negeri. Melalui peluang pasar lokallah industri dalam negeri bisa bertahan hidup. Kalau sudah seperti ini, kita sudah sangat bergantungan dengan produk impor, wajah industri dalam negeri yang semakin tertekan, apa yang harus Indonesia perbuat? Akankah kita berdiam diri ketika muncul berbagai serangan ekonomi dari negara tetangga? Relakah kita sebagai anak bangsa melihat industri dalam negeri mati tercabik-cabik oleh macan-macan ekonomi Asia?

Matinya industri dalam negeri tentu memunculkan masalah baru, dan merupakan beban bagi perekonomian bangsa ini. Sebelum terlanjur mati, Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah antisipatif. Salah satunya dengan cara segera memperbaiki dan menyiapkan industri dalam negeri agar siap dan mampu bersaing dengan industri negara tetangga.

Sebagaimana hutan rimba, begitu juga kondisi persaingan ekonomi dunia saat ini. Hukum rimba mengatakan; siapa yang kuat, dia yang mampu bertahan hidup. Begitu pun dengan kondisi perdagangan ekonomi dunia, dan Asia khususnya. Setidaknya dalam bidang ekonomi, Indonesia harus menjadi macan (kuat perekonomiannya) jika bermimpi bersaing di tengah kondisi perdagangan bebas. Dan akan lebih baik jika Industri Indonesia mampu menjadi gajah, menguasai daerahnya sehingga macan (negara tetangga) tak sanggup merebut wilayah kekuasaanya (wilayah penguasaan pasar).

Dibutuhkan komitmen semua pelaku ekonomi untuk memperkuat pertumbuhan perekonomian nasional. Memperkuat diri diperlukan agar perekonomian Indonesia mampu menjadi macan, dan bahkan bisa menjadi gajah ekonomi. Namun, posisi ekonomi yang demikian (dibaca: kuat bagaikan gajah) tidak dapat dilakukan tanpa dukungan berbagai pihak. Pelaku industri dalam negeri dan atau produsen harus memiliki kepekaan terhadap kondisi perdagangan, serta memahami produk seperti apa yang harus di produksi yang sesuai dengan kebutuhan pasar bidikannya. Persaingan memaksa setiap pelaku ekonomi industri untuk terus mengembangkan dan menyempurnakan produknya. Hal ini dibutuhkan sebagai syarat agar industri tetap bertahan dan layak untuk bersaing. Maka, terus berinovasi terhadap produknya adalah tanggungjawab bagi produsen.

Pemerintah sebagai penanggungjawab utama ekonomi juga perlu memikirkan regulasi atau kebijakan yang mendorong industri domestik menjadi lebih kompetitif. Hal ini bisa dilakukan melalui pemberian dukungan agar kemudahan dalam pendanaan bisa dinikmati oleh industri nasional. Pemerintah juga perlu meninjau kembali serta memperbaiki berbagai aturan (kebijakan) ekonomi yang berpotensi, dan dinilai menghambat Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas. Jika industri dalam negeri telah didukung pemerintah, dan terbukti mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas, maka di sisi lain masyarakat (termasuk mahasiswa) juga perlu mendukung melalui kesediaannya menggunakan produk dalam negeri.

Selain itu, Indonesia perlu melirik strategi pengembangan ekonomi negara tetangga sebagai rujukan pertimbangan, seperti negara China. Jika industri dalam negeri mampu meniru strategi yang digunakan China dalam usahanya menguasai pasar dunia, hal ini memungkinkan berdampak besar bagi kondisi perdagangan Indonesia. China mampu menguasai perdagangan karena produktivitas tenaga kerja yang tinggi dan massal. Di saat bersamaan negara komunis ini agresif mendorong ekspor ke luar negeri dengan kebijakan yang bersaing. China menerapkan tarif pajak hingga 0% bagi ekspor. Kebijakan ini kemudian menekan harga ekspor.

Selain karena minus biaya ekspor, dengan strategi produksi massal, biaya produksi China amat rendah dan nilai jual produknya pun (per unit) tergolong murah. Namun, kelemahannya, produk China juga terkenal dengan kualitas yang rendah dan masih jauh dari harapan. Jika Indonesia mampu mengikuti strategi China namun dengan tetap mempertahankan kualitas yang baik, maka bukan mustahil industri dalam negeri akan menjadi macan, bahkan mejadi gajah perekonomian.

Referensi:
1. www.korananakindonesia.wordpres/antisipasi_terhadap_dampak_buruk_perdangangan_bebas_asean-china. Oleh klinikpediatri.

Ada Apa Dengan Indonesia?

Oleh: Elfitria Kusumawati

Dewasa ini, Indonesia semakin tampil di kancah internasional. Dalam kasus korupsi, Indonesia menempati ranking ke-3 besar dunia. Bahkan kondisi ini, semakin mendorong kepopuleran Indonesia di kalangan akademisi dunia, termasuk akademisi di Harvard University. Di universitas ini, kondisi kritis Indonesia menjadi suatu bahan kajian, khususnya berkaitan dengan masalah pendefinisaian kata korupsi. Entahlah, kondisi ini bisa dipandang masalah atau sebuah prestasi. Lepas dari itu semua, korupsi jelas masih mendominasi dan bercokol di negara Pancasila ini. 

Indonesia tentu sadar bahwa kondisi minus (penuh korupsi) ini memperburuk citra di mata dunia. Berbagai upaya telah dilakukan, bahkan pemberitaan tindakan korupsi, informasi sanksi bagi para koruptorpun sudah menjadi menu media masa Indonesia. Lepas dari sanksi sosial melalui pemberitaan media (ter-ekspose), fakta menunjukan bahwa para koruptor Indonesia sudah banyak yang diproses secara hukum, dan bahkan ada diantaranya telah divonis dan menjalani hukuman. Namun tetap saja, perilaku korup di Indonesia tetap berlanjut dan pelakunya pun masih jauh dari kata jerah.

Indonesia terkenal sebagai negara yang ramah. Apakah karena predikat keramahannya, sehingga korupsipun masih mendapat porsi toleransi? Sebab, niscaya tiada toleransi, sebab fakta memperlihatkan prestasi koruptif semakin tinggi dan terlihat cemerlang. Sebenarnya apa yang menjadi keistimewahan korupsi, hingga orang ternama di Indonesia juga tergoda masuk dalam lingkaran korupsi? Inilah retorika yang perlu kita renungkan.

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dikatakan juga bahwa perilaku (korupsi) ini sering dilakukan dan dikaitkan dengan pejabat publik (pejabat pemerintahan), yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya pelaku korupsi dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan. Menurut Brooks, korupsi merupakan suatu kesengajaan untuk melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahuinya merupakan kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. Menurut KBBI (2008: 756), makna korup ialah buruk; rusak; busuk; suka menerima uang sogok; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Singkatnya, korupsi adalah perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri; tindakan menggelapkan uang atau menerima uang sogok.

Ketiga perspektif korupsi diatas hanyalah sebagian yang bisa dipaparkan. Namun, jika semua pihak mengerti esensi korupsi, tentu kita akan menghindarinya. Sebab, siapa yang mau berpredikat perusak, pemutarbalik fakta, atau bahkan pembusuk? Semua orang yang waras akan menolak predikat itu. Tindakan korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan yang dilakukan demi kepentingan pribadi. Jadi, dengan kata lain, seperti definisi KBBI, bahwa pribadi pelaku korupsi adalah sebuah parasit yang biasanya hidup dengan mengisap makanan dari organisme lain yang menjadi tempatnya menempel; orang yg hidupnya menjadi beban (membebani) orang lain (KBBI, 2008: 1053).

Dalam pengertian lain dikatakan bahwa pelaku korupsi adalah orang yang memiliki kekuasaan publik, yaitu para pejabat yang dengan tidak legal menggunakan kekuasaannya. Apa sebenarnya yang menjadi penyebab para pejabat melakukan korupsi? Apakah karena adanya budaya feodal, yaitu seorang pemimpin harus kaya dengan cara menerima upeti? Namun, bagaimana penguasa yang sudah memiliki banyak harta, bahkan tidak akan habis untuk tujuh turunan, namun masih melakukan korupsi? Dan dalam konteks Indonesia, bukankah masyarakat kita dikenal dengan kegotong-royongan dan kekeluargaan? Kemanakah semua tradisi baik ini, sehingga korupsi yang bertentangan pun masih bercokol?
Menurut Jack Bologne, penyebab korupsi ada empat, yaitu 1) Keserakahan atau kerakusan (Greed) para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas terhadap keadaan dirinya. Memiliki satu gunung emas, berhasrat punya gunung emas yang lain. Mempunyai harta segudang, ingin punya pulau pribadi. 2) Terkait dengan sistem yang memberi lubang atau peluang (Opportunity) terjadinya korupsi. Sistem pengendalian tak rapi, yang memungkinkan seseorang bekerja asal-asalan. Mudah timbul penyimpangan. Saat bersamaan, sistem pengawasan tak ketat. Orang gampang memanipulasi angka. Bebas berlaku curang. Peluang korupsi menganga lebar. 3) Need, berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak pernah usai. 4) Exposes, berkaitan dengan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah. Hukuman yang tidak membuat jera pelaku korupsi atau Deterrence effect yang minim. (http://psikologipro.wordpress.com)

Ungkapan penyebab korupsi Jack Bologne dapat dikelompokan menjadi dua aspek utama, yakni Diri (meliputi Greed dan Need) dan Luar Diri (meliputi Opportunity dan Exposes). Indonesia masih mengembangkan penanggulangan korupsi pada aspek luar Diri, dan sejauh ini terbukti apa yang dilakukan masih belum membawa Indonesia keluar dari prestasi teratas korupsi. Oleh karena itu, diperlukan tindakan lain yang mampu menyentuh ke dalam aspek Diri. Pembinaan moral dan iman bagi pelaku korupsi waktu dipenjara adalah salahsatu cara yang bisa dilakukan.

Menurut Abraham H. Maslow dalam George R. Terry dan Leslie W. Rue (2005: 173), kebutuhan dasar manusia itu berjenjang, mulai dari kebutuhan yang terendah, yaitu kebutuhan jasmani seperti memenuhi rasa haus dan lapar (Physiological Wants). Kemudian pemenuhan kebutuhan meningkat kepada pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan keamanan (Safety Wants), kebutuhan untuk diterima oleh lingkungan (Social Wants), kebutuhan prestis, keberhasilan dan harga diri (Ego Wants) dan kebutuhan yang tertinggi, yaitu kebutuhan untuk merefleksikan diri (Self Fulfillment Wants). Dari kacamata teori ini, ternyata dilakukan hanya untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah, yang seharusnya dilakukan oleh lapisan masyarakat biasa. Lalu bagaimana dengan orang yang kaya, berpendidikan, dan berkedudukan namun masih melakukan korupsi? Berdasarkan teori Jack Bologne, dalam aspek Diri yang masih tersisa ialah keserakahan atau kerakusan (Greed).

Sebenarnya, sistem hukum di Indonesia sudah cukup baik, setidaknya di atas kertas, terkait dengan ketegasan konsep-konsep sanksi. Namun, pelaksanaannyalah yang masih bermasalah. Untuk menegakan suatu aturan, kita membutuhkan pribadi-pribadi berintegritas dan mampu mengendalikan diri. Dengan dua syarat kepribadian inilah baru jaminan penegakan hukum bagi koruptor bisa dicapai. Dan sayangnya, di Indonesia, mencari orang-orang demikian terasa masih sulit. Selain itu, umumnya sanksi yang diberikan juga ringan, dan tidak menghukum. Banyak kalangan menilai hukuman yang diberikan tidak cukup berat, dan membuahkan jerah bagi koruptor. Sampai-sampai karena kurang tegasnya sanksi, ada lelucon mengatakan, “lebih baik korupsi daripada jadi maling ayam”. Ya, komentar ini muncul karena umumnya sanksi bagi pencuri ayam masih lebih berat dibandingkan dengan penjahat kelas koruptor. Ironis! 

Membangun Kepribadian
Kepribadian seseorang dipengaruhi erat oleh konsep dasar membangun diri. Untuk memperolah konsep dasar yang benar dalam membangun diri, seseorang harus memiliki pengetahuan yang benar mengenai keberadaannya. Konsep diri ini penting, sebab berkaitan erat dengan keberadaan manusia di tengah dunia ini. Dan salah satu konsep diri adalah kejelasan tujuan hidup atau keberadaan manusia atau diri di dunia ini. Ketika seseorang memiliki konsep mengenai tujuan hidup yang benar, seseorang tidak akan menghabiskan hidupnya dengan melakukan tindakan-tindakan menyimpang, seperti korupsi. 

Tujuan berkaitan dengan capaian atau keberhasilan. Keberhasilan dapat diukur kalau ada tujuan. Apa tujuan hidup yang menjadi tolok ukur keberhasilan hidup manusia? Keberhasilan hidup seseorang tidak diukur melalui harta yang dimilikinya, tetapi terlebih melalui bagaimana seseorang tersebut mampu dan menilai kehidupannya dengan benar. Dalam pengertian ini, orang disebut berhasil kalau mampu memahami tujuan hidup, lalu melakukannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak semua orang mampu memahami makna atau tujuan kehidupannya walaupun telah memiliki harta yang berkelimpahan. Berbeda dengan orang yang memiliki kejelasan tujuan hidup. Tidak sedikit orang yang ketika memiliki harta berkecukupan, ataupun berkekurangan, namun karena memiliki konsep hidup yang benar, dia mampu menjalani hidup ini dengan indah dan bermanfaat. Kehidupan ini bisa dia dijalani dengan penuh sukacita dan ucapan syukur. Singkatnya, sesungguhnya dengan atau tanpa harta yang berkelimpahan, tetapi jika memiliki konsep hidup dan prioritas hidup yang benar, seseorang dapat dikatakan berhasil dalam menjalani kehidupannya. Carilah dan milikilah konsep hidup yang benar itu. Etika Kristen menjelaskan, manusia disebut berhasil dalam hidup jika mampu melakukan kehendak Tuhan, dan memuliakan dan menikmati Dia senantiasa. Jika kehidupan yang dijalani bersifat parsial, tanpa ada hubungannya dengan Tuhan, maka kehidupan itu jelas mengalami kegagalan. Korupsi jelas menjauhkan kita dari relasi dengan Tuhan, dan tidak memuliakan Dia. Maka, bagi kita yang ingin memuliakan Dia dalam hidup, kita akan menghindari untuk melakukan korupsi atau penyimpangan lainnya. 

Selain itu, seseorang memiliki kesempatan hidup hanya satu kali. Oleh karenanya, memilih komunitas yang benar akan melahirkan pengalaman hidup yang berharga; tidak sia-sia. Komunitas dan sistem yang baik akan menolong kita untuk belajar bersikap benar, dan tidak menyimpang. Ketika sudah memiliki konsep diri yang benar, ditopang oleh sistem komunitas yang benar, maka seseorang tidak akan mudah melakukan hal-hal yang menguntungkan hidupnya, namun merugikan orang lain, komunitasnya, bahkan bangsa dan negara. Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah yang menjadi konsep hidup masyarakat, dan para pemimpin Indonesia? Apakah yang menjadi tujuan hidupnya?
Berdasarkan survei kepemimpinan J. Robert Clinton, terdapat lima titik jatuhnya pemimpin di Amerika, yaitu: hubungan seksual, kekuasaan, kesombongan, keluarga, serta sikap terhadap uang dan penggunaannya. Apakah pemimpin bangsa ini juga mengalami masalah yang sama? Masyarakat akan menjadi saksi hidup, dan mengawasi perjalanan bangsa ini. Dan semoga para pemimpin kita tetap bisa diteladani, tidak jatuh pada persoalan pokok kejatuhan pemimpin ala-J. Robert Clinton, termasuk tidak jatuh untuk melakukan KORUPSI. Harapan!

Referensi:
1. George R. Terry dan Leslie W. Rue, Dasar-Dasar Manajemen, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008.
3. http://psikologipro.wordpress.com, wikipedia, diakses 19/03/2010.

Mahasiswa, Jangan “Bodong” (dong)


Oleh: R. Graal Taliawo

Mendengar kata bodong, kita langsung dibawa pada kaitan kasus Bank Century. Kata bodong dalam tulisan ini memang bermakna sama dengan kata bodong dalam kasus Bank Century (deposito bodong: kosong). Apa kaitannya dengan mahasiswa?

Realita konflik tidak hanya menjadi bagian dari masyarakat kurang terdidik. Namun mahasiswa, yang dari namanya seharusnya terdengar intelektual, ternyata ikut terjebak dalam arus berbagai konflik. Berbagai aksi demonstrasi yang berujung pada aksi anarkis adalah gambaran yang hampir biasa bagi mahasiswa. Berbagai aksi jalanan (demo), jika mungkin disebut demikian adalah fenomena yang tak lepas dari mahasiswa.

Dalam berdemokrasi, aksi demo bukanlah tindakan haram. Hanya saja, aksi demo harus bermanfaat dan dilakukan dengan cara elegan nan jauh dari sikap anarkis. Demo yang berujung anarkis dengan alasan apapun bukanlah suatu aksi yang patut dijempoli.

Selain cenderung diisi dengan aksi-aksi yang brutal, gerakan aksi mahasiswa yang adapun jauh dari gagasan intelektual. Banyak aksi yang dilakukan dengan pijakan yang tidak kuat. Alasan mengadakan aksi dan mengikuti aksi pun terkadang miskin argumentasi. Atau, biasanya aksi hanya diisi dengan teriakan dan slogan-slogan mengecam, namun ketika diminta bersolusi terhadap masalah, kita (mahasiswa) cenderung miskin gagasan atau solusi. Dan ironisnya sekarang, terkadang gerakan yang pada tahun 60-an disebut gerakan kaum idealis ini cenderung ditunganggi oleh kepentingan politik tertentu.

Semua degradasi ini terjadi karena; pertama, mahasiswa miskin buku dan miskin pula dalam minat baca. Harus diakui, mahasiswa di zaman edan ini mengalami krisis dalam hal kompetensi membeli dan membaca buku. Ketiadaan minat baca membuat mahasiswa kekeringan isi otak dan ide baru. Akibatnya, tatkala ditantang bersolusi, mahasiswa hanya bisa menjawabnya dengan teriakan dalam slogan-slogan pendek nan kosong. Buktikan ketiadaan minat baca ini dengan melirik koleksi buku yang dimiliki mahasiswa (cek ke kamar kos, dan lihat berapa buku yang anda dan saya miliki). Apakah ada buku yang dikoleksi, setidaknya buku kelimuan (minat ilmu) yang menjadi koleksi bacaan? Atau bisa jadi rak buku kita lebih didominasi bacaan komik, dan atau parahnya bacaan-bacaan porno? Sebenarnya, tanpa harus membeli pun kita tetap bisa membaca dan mengisi diri—kalau ditopang dengan semangat kuat untuk membaca. Kita bisa dengan teratur membaca di Perpustakaan, dan atau rajin-rajin ke toko buku dan bermalam mingguan di sana sambil membaca buku.

Kedua, akibat kehidupan pragmatisme dan materialisme yang menghinggapi. Mahasiswa berstudi hanya untuk lulus dan kerja. Mahasiswa terjebak dalam kurungan hidup dengan orientasi materi. Bahkan studi pun dipatok berujung pada pemenuhan materi, yakni mendapat kerja, duit, dll. Akibatnya, bagi mahasiwa tipe ini, nilai dan mendapat nilai adalah hal yang terpenting. Sehingga bukan mendapat ilmunya yang terpenting. Untuk apa membeli buku, kalau ternyata dengan dan tanpa membeli buku bisa mendapat nilai A (memuaskan, dll). Bukankan cukup bagi saya dalam menjawab pertanyaan dan merespon materi yang disampaikan oleh dosen? Bertolak dari inilah, maka idealisme mengisi diri dengan bacaan dirasa tak diperlukan. Padahal, gagasan dan ide yang disampaikan dosen dalam ruang kuliah sesungguhnya terbatas, dan bukanlah satu-satunya sumber ilmu bagi mahasiswa. Dosen dan interaksi dalam kelas hanyalah satu cara dalam menemukan, dan mengembangkan gagasan. Selebihnya, mahasiswa harus mencarinya di luar, termasuk melalui mengisi diri dari bacaan-bacaan pribadi.

Idealnya, mahasiswa berperedikat “agen perubahan” mampu mengembang predikat itu dengan bentuk keberadaan yang termaknai. Namun, akibat dua budaya sikap di atas, mahasiswa gagal memaknai keberadaanya. Kita (mahasiswa) tetap melakukan aksi gerakan, namun miskin (Bodong: Kosong) ideologi dan miskin solusi.

Sebagai seorang alumni dari almamater tercinta, penulis pernah bersentuhan dengan beragam aktivis gerakan mahasiswa. Perjumpaan itu sedikit memberi gambaran mengenai kondisi pergerakan mahasiswa, khususnya yang ada di almamater penulis. Awalnya, terpikir bahwa kondisi gerakan mahasiswa di almamater penulis berbeda dengan kondisi pergerakan mahasiswa secara nasional. Namun, ternyata dugaan itu salah. Melalui pemberitaan media, dugaan penulis terbantah—walaupun konteks pergerakan masing-masing daerah berbeda. Artinya, gambaran pergerakan mahasiswa secara nasional, sedikit terwakili dengan kondisi pergerakan yang ada di kampus penulis.

Apa yang terlihat?
Harus diakui sedikit memiriskan hati. Tatkala merenung, pernyataan mahasiswa sekarang “bodong ideologi” dan referensi moral, benar adanya. Pergerakan mahasiswa terus bergerak, namun tidak digerakan oleh ide (ideologi) yang cerdas. Kepentingan, miskin informasi dan data (akhirnya terlihat “ngawur”) masih menjadi lokomotif pergerak aksi mahasiswa. Mahasiswa juga tak ubahnya anggota DPR dan politisi yang selama ini dikritisi dan didemo. Mahasiswa sering melakukan aksi menentang tindakan politisi korup, tidak bermoral, dan berbagai penyimpangan. Namun, ironisnya justru dalam aktivitas gerakan mahasiswa, aksi-aksi yang sama (korupsi ala-PROPOSAL) dalam bentuk berbeda juga ikut menggurita. Di waktu mahasiswa bersuara agar politisi harus bermoral, di sisi lain mahasiswa justru orang yang miskin referensi moral. Ketika moral seharusnya menjadi landasan bagi sebuah aksi, mahasiswa justru mengabaikannya. Seruan dan referensi moral bukanlah sebuah pertimbangan mendasar dalam berbagai keputusan aksi mahasiswa. Padahal saat berdemo, mahasiswa sering mengidentifikasi aksinya sebagai seraun hati nurani atau gerakan “moral”.

Kasus lain, ketika politisi menghalalkan segala cara, mengabaikan etika atau moral, mengandalkan harta, kepintaran serta memiliki motivasi yang salah dalam merebut kekuasaan (maju memimpin), mahasiswa bangkit dan menentangnya. Namun, kondisi ini juga dibudayakan oleh mahasiswa dalam kegerakannya. Dalam berbagai aktivitasnya, baik di kampus dan di kegiatan organisasi pergerakan, pertimbangan moral bukanlah sebuah dasar pijakan pengambilan keputusan. Pertimbangan-pertimbangan moral (kemurnian motivasi, kualitas diri, kemampuan dan karakter kepemimpinan) bukanlah syarat bagi praksis politik di lingkungan kampus. Lagi-lagi, referensi menentukan pilihan masih berkutat pada hal-hal lahiriah yang bisa “menipu” dan “membius”. Kepintaran, kecakapan memimpin (yang terlihat mata; pintar berucap) bukanlah hal sepeleh. Namun lebih dari itu, syarat moralitas adalah dasar dari seorang pemimpin yang seharusnya mendapat porsi pertimbangan utama dalam proses pembelajaran pengambilan keputusan politik. Bahayanya, jika kemudian motivasi dan dasar mengambil keputusan maju memimpin belum beres dan bermasalah, namun karena tampilan lahiriah, orang menganggap seseorang itu mumpuni dalam memimpin. Bagi penulis, lebih baik memiliki seorang pemimpin seperti Mahadma Gandhi—pintar namun rendah hati—daripada seorang nampak (belum tentu) pintar, lumayan cakap berbicara, namun bermoral Adolf Hitler atau Benito Amilcare Andrea Mussolini. Atau yang lagi hangat dalam Pemilkada Pacitan, pemimpin ala-Julia Perez. Siapa yang mau? Artinya jelas kaya, (nampak) cakap berbicara dan beretorika bukanlah satu-satunya referensi dalam mengambil keputusan politik.

Jangan heran jika di kemudian hari (10—20 tahun lagi), mahasiswa-mahasiswa yang hari ini berteriak dan berdemo akan didemo ulang oleh mahasiswa-mahasiswa di zamannya. Percaya atau tidak, tidak sedikit politisi (anggota DPR) hari ini yang sering didemo dengan alasan “moralitas” adalah orang-orang yang 15 atau 10 tahun lalu ikut dalam berbagai aksi protes atas nama moral. Sejarah berulang, dan lagi-lagi ganti generasi tidak membuat kita belajar agar tidak jatuh ke lubang yang sama.

Sudahilah budaya politik salah-kaprah, miskin ideologi, serta miskin referensi moral ini. Mulailah dengan menggunakan rujukan moral sebagai dasar memutuskan. Jika tidak, maka kita adalah mahasiswa yang tak ubahnya anggota-anggota DPR itu, yang selalu jadi sasaran pendemo.

Ada slogan “maling teriak maling”, yang berpotensi mengarah ke mahasiswa dan gerakannya. Maka kita (mahasiswa) harus segera berbenah. Jika tidak, mahasiswa juga akan ikut disebut sebagai gerakan “bodong ideologi”. Dan tak ubahnya sebuah “tong yang kosong, dan yang nyaring bunyinya”. Tentu ini tidak bermakna positif bukan? Sadarilah….

Pemakzulan: Nampak Mulus Jalan Tol

Oleh: Jandry Manu

Pemakzulan mungkin sebuah kata yang masih baru ditelinga kita. Pemakzulan sering kita dengar dalam beberapa kasus yang terjadi belakangan ini. Pemakzulan adalah suatu proses dimana badan legislatif, seperti DPR (di Indonesia) menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi Negara. Pemakzulan juga dikenal dengan istilah “Impeachment”, yang sering dipergunakan oleh negara luar dalam menjatuhkan hukuman terhadap pejabat tinggi negaranya. Kasus pemakzulan seperti ini, pernah mewarnai sejarah pemerintahan Amerika Serikat.

Pemakzulan bukan berarti pemecatan, namun merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, seperti pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga pemakzulan merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan. Saat pejabat tersebut dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian berujun pada pemecatan.

Belakangan, kata pemakzulan sering terdengar ketika DPR melakukan investigasi kasus Bank Century melalui Pansus Bank Century. Beberapa pihak terkait, menyatakan pendapatnya dalam kasus Bank Century yang cukup rumit ini. Namun akhirnya drama Century berakhir, paling tidak satu sekuel (bagian) pendahuluan. Ujungnya jelas dan tegas: paripurna DPR RI memutuskan bahwa kebijakan dan implementasi bail out untuk menyelamatkan Bank Century diduga bermasalah. Lalu, apa selanjutnya?

Ada dua pilihan sekuel normatif sebagai lanjutan dari drama Bank Century ini. Pertama, dalam kerangka politik-ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat, bahwa Presiden dan atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum. Dan yang kedua, dalam kerangka hukum, DPR dapat meneruskan dan meminta institusi penegak hukum (Polri, Kejaksaan dan KPK) untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut terkait indekasi-indekasi tindak pidana umum, perbankan dan korupsi di seputar skandal ekonomi-politik Bank Century. Dan langkan kedua inilah yang sedang diproses dan dinanti publik. Namun, sesungguhnya masyarakat juga menunggu sikap berani DPR untuk maju pada langkah yang pertama. Tapi, beranikah wakil rakyat kita melakukan itu?

Dalam UUD ’45 pasal 7, proses pemakzulan baru akan terjadi apabila ada usul dari DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden. Usulan DPR tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan kemudian ditindaklanjuti oleh MK. DPR bisa menggunakan hak menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau kejadian yang masuk dalam kategori luar biasa ini.

Jika Presiden dan Wapres ingin dimakzulkan, maka jalan ke arah itu harus dimulai dari penggunaan hak menyatakan pendapat oleh DPR (Pasal 7B ayat 1 UUD 1945, lihat juga UU Nomor 27/2009 Pasal 77 ayat 4). Dalam konteks skandal Bank Century, DPR bisa berpendapat bahwa Presiden dan atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat kebijakan bail out. Pendapat ini kemudian diajukan kepada MK untuk diperiksa, diadili dan diputuskan. Namun, langkah ini baru merupakan langkah permulaan saja. Untuk meloloskan pengajuan pendapat DPR ini ke MK, disyaratkan dukungan dalam sidang paripurna sekurang-kurangnya 2/3 anggota dewan yang hadir. Sementara sidang paripurna itu sendiri wajib dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah total anggota DPR. Jadi, kalau saja semua anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat (PD) tidak hadir, maka sidang paripurna gagal dengan sendirinya.

Jalan permulaan itu tidak mudah, dalam pasal 7B ayat (4) UUD 1945, MK mempunyai waktu 90 hari dalam proses peradilan untuk memeriksa, mengadili, memutus pendapat DPR. Tahap selanjutnya apabila kemudian MK memutuskan bahwa Presiden dan atau Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maka DPR kembali menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wapres kepada MPR (Ayat 5 Pasal 7B UUD 1945). Seandainya usul pemberhentian Presiden dan atau Wapres itu berhasil diteruskan oleh sidang paripurna DPR ke MPR, maka tahap selanjutnya rakyat harus menunggu lagi maksimal 30 hari sejak usul pemberhentian itu diterima oleh MPR. Dalam rentang waktu ini MPR wajib memutuskan usul pemberhentian tersebut (Ayat 6 Pasal 7B UUD 1945). Kemudian yang lagi-lagi tidak mudah pada tahap akhir ini adalah putusan MPR itu harus diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 jumlah total anggota MPR, dan disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir (Ayat 7 Pasal 7B UUD 1945, lihat juga UU 27/2009 Pasal 35, 36, 37). Berdasarkan kalkulasi ini, serta proses konstitusional yang berliku dan panjang, tentu memungkinkan terbukanya ruang prosesi bagi aneka rupa langkah politik interventif. Dan jelas, sepertinya jalan menuju pemakzulan itu memang tidak mudah. Sungguh semakin tak mudah jika variabel-variabel politik “dagang sapi”, “tawar-menawar”, “barter kasus” dan yang sejenis itu—yang belakangan mulai mengorbit—juga turut dihitung. Makanya, kepada mereka yang memilih sekuel pertama bersiaplah untuk kecewa.

Lalu seberapa besarkah peranan masyarakat, yang telah terbukti berhasil memberikan tekanan politik kepada pemerintah dan parlemen? Seperti dalam kasus dugaan kriminalisasi pemimpin KPK (dimana karena kekecewaan politik, masyarakat kemudian bergerak menggalang kekuatan dan turun mengibarkan gerakan ekstra-parlemen)? Apakah dalam Skandal Century gerakan ini bisa berulang, dan efektif? Tapi sebelumnya, seberapa kuatkah gerakan dalam barisan ekstra-parlemen ini? Sebab, mereka harus menghadapi kekuatan “masyarakat” yang mendukung pemerintah. Jika kekuatan mereka biasa saja dan berimbang, maka jalan menuju pemakzulan akan pupus dan sia-sia. Karena walaupun proses ke sana nampak nyata, namun terlampau panjang. Dengan senyum saya berucap, “bagai jalan tol saja”.

FB: Jejaring Sekaligus Jaring

Oleh: Mardiks Ludwik Sunaryo

FB (Facebook) merupakan situs jejaring sosial baru, khususnya di Indonesia. FB dikenal cukup sederhana, dan karenanya memiliki daya tarik bagi penggunanya. Dengan kesederhanaannya, FB mudah dipahami dan digunakan. Bahkan bagi orang awam sekalipun, sehingga tidak perlu waktu lama untuk menguasai FB.

Seiring perkembangan teknologi, FB semakin mudah diakses, bahkan melalui HP dan PDA. Jadi, di mana dan kapan pun kita bisa dengan mudah mengaksesnya. Sebagai informasi, sekitar 62,5% pengguna aktif internet di seluruh dunia memiliki profil FB. Umumnya mereka berusia 16 hingga 54 tahun. Selain itu, sekitar 71,1% pernah mengunjungi halaman profil teman mereka di jejaring sosial1. Kini, FB menjadi terpopuler dengan lebih dari 300 juta penghuni2. Dari daftar situs yang paling banyak diakses di dunia, FB menduduki peringkat kedua setelah Google. Namun di Indonesia, FB berada di peringkat pertama mengalahkan Google.co.id3.

FB terdiri dari fitur-fitur sederhana yang mendukung dan mempermudah interaksi sesama pengguna. Kita dapat melihat perkembangan status, bahkan perkembangan fisik teman pengguna FB kita. Jika dilihat dari struktur fitur FB, fitur yang dimiliki baik dan berguna bagi penggunanya. Selain membantu komunikasi jarak jauh, FB juga bersifat universal sehingga cukup murah dibandingkan komunikasi menggunakan telepon, apalagi berkenaan dengan komunikasi internasional. Fitur FB juga mengabungkan chatting, mailing list dan dilengkapi pula fitur game. Jadi dalam kelas situs jejaring sosial, FB dinilai lebih efisien dan efektif.

Namun, di balik semua kemudahan dan kelebihan itu, FB berpotensi menimbulkan masalah serius. Sifat interaktif FB ternyata berpeluang menjadi boomerang bagi penguna, dan merusak karakter relasi sosial seseorang. Seberapa jauhkan dampak negatif itu?

Kecanduan. Tanpa disadari, sifat interaktif FB menjerumuskan dan menimbulkan rasa kedekatan yang berlebihan. Akibatnya membuat orang sulit melepaskan diri dari FB—karena merasa ada suatu ikatan relasi sosial di sana. Kondisi interaktif seperti ini menimbulkan sebuah jalinan relasi yang tidak sehat, sebab bersifat instan, dan tidak berkualitas. Relasi dengan tipe ini juga bisa merupakan bentuk yang tidak nyata dan menipu. Namun ironisnya, relasi seperti ini cenderung dianggap sebagai sesuatu yang nyata dan lebih baik (berkualitas). Anggapan ini, umumnya dialami oleh mereka yang telah kecanduan, dan merasa lebih diterima di dunia maya, ketimbang dunia nyata. Kasus beberapa orang yang lari dari rumah orang tua, dan mengikuti kenalan lelaki di FB adalah contohnya. Seseorang menganggap teman yang dikenal di FB lebih baik ketimbang mengikuti orang tuanya. Padahal proses mengenalnya juga baru sebatas bagian kulit kepribadian saja. Dan sayangnya, dengan bermodal mengenal di FB, keputusan besar meninggalkan rumah rela diambil.

Harus diakui, sudah natur dan kebutuhan kita sebagai mahluk sosial untuk berelasi, memperoleh teman, dan mendapat perhatian dari orang lain. Kita merasa berharga ketika dikenal dan diakui keberadaanya oleh orang lain. Namun di sisi lain, natur dari kebutuhan ini perlu diwaspadai dan dikendalikan. Sebab jika tidak, upaya pemenuhan kebutuhan ini berpotensi mendorong, dan membuat kita bersikap berlebihan dalam mencari pengakuan dari orang lain. Dan saat kebutuhan dan jalinan relasi itu diperoleh di FB, kita akan cenderung (ketagihan) menggunakannya. Padahal esensi relasi itu ada dalam kehidupan nyata, dan bukan di dunia maya.

Tentu kondisi mencari dan berelasi seperti ini tidak sehat. FB cenderung menjadi sarana pelarian dan membuat kita tidak perlu bekerja keras untuk mencari teman, dan mempertahankan relasi di dunia nyata. Bagi penulis, FB bukanlah sarana ideal untuk menjalin relasi atau persahabatan. Sebab, sebagai jejaring sosial, FB telah menjadi jaring yang mengisolasi individu secara sosial dari kehidupan dunia nyata dan membawa ke dunia maya. Coba perhatikan, apakah seseorang yang aktif di dunia maya, khususnya dalam mencari teman, dia juga melakukan hal yang sama ketika berada di dunia nyata? Bisa jadi, jumlah teman yang dimiliki di dunia maya lebih banyak dibandingkan di dunia nyata. Keramahan di dunia mayapun belum tentu sama dengan keramahan seseorang ketika bersapa muka dengan muka. Inikah relasi yang sehat? Bukankan tanpa sadar, kita telah dibuat bersikap dua muka? Di dunia maya sikap ramahnya begitu nyata, tapi ketika di dunia nyata, keramahan itu tak tampak. Artinya, ini adalah keramahan yang menipu.

Sehingga tepat jika mengatakan kecanduan FB berpotensi melumpuhkan kepribadian individu, khususnya dalam mengasah keterampilan berelasi. Dan bisa juga memberi dampak negatif bagi pertumbuhan spiritual seseorang. Kecanduan FB membentuk kita bersifat egoistik dan individualistik. Jika diamati, banyak diantara kita menggunakan FB hanya untuk kesenangan diri. FB menjadi sarana pemuasan kebutuhan sosial diri sendiri, tanpa rasa kepedulian pada keadaan dan kebutuhan orang lain. Relasi dengan orang lain hanya sebagai alat memuaskan kebutuhan pengakuan diri. Lihat saja, berapa banyak tulisan di FB yang kita harapkan mendapat respon dan komentar? Dan ketika mendapat respon atau komentar, apa yang kita rasakan? Senang, merasa bernilai, merasa dihargai, dan berharga bukan? Singkatnya, FB menjadi sarana bagi kita untuk mencari popularitas dan penghargaan. Dan sayangnya, kerap kali penghargaan itu datang dari orang yang tidak mengenal kita. Dan kita bangga menerima komentar dan pujian-pujian itu. Padahal, penghargaan-penghargaan seperti itu adalah penghargaan PALSU.

Bagi kita yang kecanduan FB, kecenderungannya adalah lebih asyik dan menikmati dunia buatan ini. Proses mengaktualisasikan diri juga terlampaui berlebihan. Kita yang mendapat komentar dibuat menjadi pribadi yang tidak realistis, dan cenderung membentuk kepribadian seperti komentar dan penilaian tersebut. Penilaian-penilaian dan komentar itu kemudian menjadi kerangka pikir kita. Akibatnya, kita menjadi pribadi yang tidak lagi menggunakan standar Tuhan dalam menilai diri kita. Ini yang terlihat dalam banyak kasus. Semisal, tatkala bermasalah dalam moral dan karakter kepemimpinan, tapi karena adanya pengakuan dan penilaian dari orang lain (yang tidak mengenal kita), akhirnya membuat kita bisa terlampau percaya diri, dan dengan bangga menganggap diri mampu memimpin, dll. Hati-hati! Dan jangan gampang terbuai dengan penilaian dan komentar-komentar kosong dari orang-orang seperti itu—orang-orang yang tidak mengenal kita secara pribadi, dan apa lagi mengenalnya hanya melalui FB.

Di manakah kita? Apakah kita masuk dalam kategori pecandu FB? Ataukah kita adalah salah satu korban komentar dan penilaian bualan di FB? Mungkin lebih nyaman jika terus berada dalam posisi kecanduan. Namun, ingatlah FB bisa menjadikan kita manusia instan dan berkepribadian “aneh”.

Pasti sulit dan terasa terlambat untuk lepas dari kecanduan FB (Facebook), namun mengendalikan diri dalam menggunakan FB harus segera kita terapkan. Ini semua demi perbaikan karakter, serta proses mendidik kita dalam pengendalian diri. Bagi saya, sebelum terlampau jauh, mari tempatkanlah FB pada posisinya, manfaatkanlah dengan baik, dan kendalikanlah diri dalam menggunakan FB. Dengannya, kita menjadikan hidup ini lebih berarti di hadapan-Nya. Ingat! Hidup ini adalah anugerah, jadi jadikan hidup kita, dan anda seberarti dan seberkualitas yang bisa dicapai. Sola Gracia

Referensi:
1. T.n., “Focusing in Sosial Network,“ http://www.emarketer.com/Article
2. T.n., “300 Juta Penghuni, Facebook Kian Tak Tertandingi,” http://www.detiknet.com
3. T.n., “The Top Sites in Indonesia,” http://www.alexa.com/topsites/countries/ID

Sepintas Tentang Internet

Oleh: Julia T. Raulina Saragi

Siapa yang tidak pernah mengakses internet? Jika pertanyaan ini diajukan, maka kemungkinan besar jawabannya adalah hampir semua orang pernah mengakses internet. Mulai dari usia muda sampai yang tua, tak kenal pria maupun wanita. Hampir semua kalangan pernah dan bahkan mungkin sering mengakses internet. Tentunya dengan kepentingan yang berbeda-beda, mulai dari mencari informasi tentang belahan dunia lain, informasi perkembangan dunia, informasi perkembangan ilmu pengetahuan, sekedar mengisi waktu luang, dan masih banyak lagi alasan orang mengakses internet. 

Sejarah Singkat Internet
Internet merupakan jaringan komputer yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat pada tahun 1969. Melalui proyek ARPA yang disebut ARPANET (Advanced Research Project Agency Network), mereka mendemonstrasikan bagaimana dengan hardware dan software komputer yang berbasis UNIX bisa melakukan komunikasi dalam jarak yang tidak terjangkau oleh saluran telepon. Proyek ARPANET merancang bentuk jaringan, kehandalan, seberapa besar informasi dapat dipindahkan, dan kemudian semua standar yang mereka tentukan menjadi cikal bakal pembangunan protokol baru yang sekarang dikenal sebagai TCP/IP (Transmission Control Protocol/Internet Protocol).

Tujuan awal dibangunnya proyek iini adalah untuk keperluan militer. Saat itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat (US Department of Defense) membuat sistem jaringan komputer yang tersebar, menghubungkan komputer di daerah-daerah vital untuk mengatasi masalah bila terjadi serangan nuklir, dan untuk menghindari terjadinya informasi terpusat—yang apabila terjadi perang dapat mudah dihancurkan.

Pada mulanya ARPANET hanya menghubungkan empat (4) situs yaitu Stanford Research Institute, University of California, Santa Barbara, University of Utah, di mana mereka membentuk satu jaringan terpadu di tahun 1969. Dan secara umum ARPANET diperkenalkan pada bulan Oktober 1972. Tidak lama kemudian proyek ini berkembang pesat di seluruh daerah, dan semua universitas di negara tersebut ingin bergabung.

Karena mengalami kesulitan mengatur, maka ARPANET dipecah manjadi dua, yaitu "MILNET" untuk keperluan militer dan "ARPANET" yang lebih kecil untuk keperluan non-militer, seperti universitas-universitas. Gabungan kedua jaringan akhirnya dikenal dengan nama DARPA Internet, yang kemudian disederhanakan menjadi Internet.

Sejarah Masuknya Internet ke Indonesia
Sejarah internet Indonesia dimulai pada awal tahun 1990-an. Saat itu jaringan internet di Indonesia lebih dikenal sebagai paguyuban network, dimana semangat kerjasama, kekeluargaan dan gotong-royong adalah modal utama bagi komunitas ini. (Jelasanya, silahkan klik; www.wikipedia.com )

Saat melihat sejarah pembuatan internet, jelas sekali internet dibuat dengan maksud baik, dan didasari kepentingan yang genting. Singkatnya, internet dibuat untuk kepentingan pertahanan negara dari perang, dan bukan untuk kepentingan lainnya. 

Data Statistik Pengguna Internet di Indonesia
Menurut statistik CIA World Factbook, populasi dunia saat ini adalah 6.780.584.602 jiwa. Dan sekitar 1.733.993.741 orang adalah pengakses rutin internet. Penduduk Indonesia tercatat berjumlah 240.271.522 dan diperkirakan lebih dari 35 juta adalah pengguna internet. Lebih dari 15 juta diantaranya setiap hari mengakses situs berita online. 

Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mencatat jumlah pelanggan internet di akhir tahun 2009 mencapai 6 juta. 3 juta diantaranya telah menikmati akses broadband. Ini tidak termasuk pengguna internet seluler. Kompilasi data dari Badan Regulasi Telekomuniksi Indonesia (BRTI) menunjukkan bahwa pengguna 3G saja mencapai 6 juta pelanggan. Belum termasuk pengguna akses data internet GPRS/EDGE dan CDMA/EVDO. Data BRTI juga menunjukkan bahwa akhir tahun 2009 sebagian besar BTS dari 3 operator selular GSM papan atas telah siap melayani akses data internet. Jumlah BTS Telkomsel mencapai 31.000, Indosat 29.000 dan XL 26.000 dengan jangkauan wilayah pelayanan (coverage area) meliputi 99% dari 5.300 kecamatan di Indonesia. Ini tidak termasuk tambahan penetrasi layanan paket data berbasis Fixed Wireless Access (FWA) yang dikenal dengan CDMA/EVDO. Jumlah nomor aktif yang telah terpakai mencapai 165 juta dengan perkiraan 135 juta diantaranya adalah unik (mewakili 1 orang). Walaupun tingkat churn rate (perpindahan pelanggan ke operator lain) dan wipe off (penghapusan nomor pasif) cukup tinggi, namun ternyata pertumbuhan nomor baru (perdana) juga jauh lebih pesat. Artinya, keterjangkauan meningkat tajam. Kompilasi data survey pasar menunjukkan; Indonesia memiliki rasio kepemilikan perangkat akses internet tertinggi. Kenaikan jumlah gadget paling banyak dan penurunan tarif layanan (termasuk paket data internet) paling tajam di kawasan ASEAN. 

Berdasarkan data statistik diatas Indonesia merupakan negara kedua terbesar yang paling sering mengakses internet. Dan kita mahasiswa juga termasuk di dalamnya. 

Bukan rahasia lagi kalau terjadi berbagai penyimpangan ketika msyarakat menggunakan internet. Menurut data, tindakan kejahatan 2 tahun terakhir ini banyak terjadi melalui sarana internet. Penipuan-penipuan melalui dunia maya juga kerap terjadi. Belum lagi berbagai peyimpangan-peyimpangan lain yang kian meluncur kencang. 

Tidak dipungkiri penemuan internet telah membawa dampak positif bagi kehidupan manusia, seperti komunikasi yang kian terasa mudah dan murah. Salah satu kemudahan itu ditujukan oleh dan melalui adanya jejaring sosial Facebook (FB). FB membuat jutaan manusia di seluruh dunia dapat bertemu muka dengan muka. Bahkan facebook dapat mempertemukan orang-orang yang sudah lama tidak bertemu. 

Namun disamping dampak positif, penemuan internet juga membawa banyak kerugian, atau dampak yang tak seharusnya tidak ada. Kemudahan untuk mendapatkan informasi dari belahan dunia, ternyata dimanfaatkan juga oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kemudahan mengakses hal-hal yang berbau amoral, seperti pornografi pun tak terhindarkan.
Di sini pengendalian diri, kedewasaan rohani (pikiran) sebelum bersentuhan dan mengunjungi internet adalah modal yang terpenting. Tidak hanya pengendalian diri untuk melihat hal-hal yang tidak benar (bermuatan jijik, dan amoral), namun pengendalian diri juga dibutuhkan dalam menggunakan internet. Jika mengacu pada sejarah penemuannya, internet digunakan dalam keadaan darurat atau mendesak, namun saat ini justru sebaliknya. Orang-orang tenyata cenderung kecanduan, dan tidak ada pengendalian diri dalam menggunakan internet—perhatikan data statistik pengunaan internet yang telah dipaparkan. Internet cenderung digunakan seenaknya, dan bahkan cenderung disimpangkan. 

Sebagai refleksi, mari melihat diri kita. Apakah selama ini kita sudah bijak dan telah menempatkan sarana internet pada posisinya—sebagai sarana bagi kebutuhan komunikasi, dll? Apakah kita juga mengunakannya sesuai kebutuhan? Dan yang terpenting, apakah dalam mengakses, kita juga menggunakannya dengan benar? Jika ternyata kita masih menyimpang dalam menggunakan internet, maukah kita berhenti dan merubah perilaku ini? 

Waktu terus bejalan, dan kesempatan yang hilang tidak akan kembali. Jadi, marilah menata hidup, waktu dan kesempatan. Dengannya, kita tidak akan banyak menghabiskan waktu hanya untuk akses internet, dan apalagi hanya mengakses sarana (situs-situs) yang tidak mendidik dan merusak itu.