Senin, 22 Maret 2010

Editorial Buletin KDAKI Edisi II: Pemuda Dan Pintu Kemerdekaan


Kata teman, ”semangat dan hingar-bingar hari pahlawan tidak terasa lagi. Mengapa?” Mendengar pertanyaan ini, membuat kita sedikit menolehkan mata untuk mengamati. Dan tentu kita akan melihat hal yang sama. Tanggal 10 nopember merupakan hari yang penting bagi bangsa Indonesia. Penting karena di balik tanggal itu, tersimpang emas sejarah bagi perjalanan bangsa kita. 10 nopember dikenal sebagai hari pahlawan, artinya jika semangat dan hingar-bingar memperingati tidak lagi semeriah yang lalu, maka kita bisa menafsirkan sendiri apa yang sedang terjadi. Beriringan dengan Hari Pahlawan, satu bulan sebelumnya, yakni tanggal 28 oktober bangsa ini memperingati hari bersejarah lainnya. Hari Sumpah Pemuda, tepat tanggal 28 oktober 1928 generasi muda Indonesia mengikrarkan janji setianya pada Ibu Pertiwi. Dan hebatnya janji itu dibuktikan dengan lahirnya Indonesia sebagai negara di kemudian hari. Sungguh teladan yang patut diingat dan disaksikan setiap tahunnya.

Tindakan-tindakan kepahlawanan yang demikian perlu didegungkan setiap waktu dan jika perlu ditulis kembali agar cerita seperti ini tidak menjadi isapan jempol dikemudian hari. Hal ini diperlukan agar generasi selanjutnya tidak melupakannnya, yang akhirnya menjadi generasi yang terhilang. Ingat! Generasi yang terputus dari sejarah adalah generasi yang hidup tanpa tujuan!

Menjadi generasi terhilang dalam konteks Indonesia adalah hal yang terbuka lebar. Bagaimana tidak, jika di zaman ini, generasi membaca (membaca sejarah) dan menulis hampir punah dan tidak bermunculan. Kalau pun ada, itu hanya beberapa. Pesimisme ini didukung oleh berbagai fakta miris kondisi anak bangsa. Kebiasaan baik dan ilimiah dalam konteks mahasiswa kian menghilang. Generasi muda, khususnya mahasiswa tidak lagi memperjuangkan cara hidup sesuai dengan identitasnya. Mahasiswa lebih menyukai hal-hal praktis dan cara hidup yang gampangan. Kebiasaan berpikir kritis bukan lagi budaya yang bisa kita temui. Akibatnya, sulit bagi kita mengharapkan mahasiswa untuk bersumbangsi solusi bagi bangsa. Sungguh perbedaan yang jauh, jika kondisi generasi jaman ini dicerminkan dengan kondisi generasi muda di jaman kemerdekaan. Pesimis dan sungguh pesimis melihat keberadaan generasi muda Indonesia, namun itulah kondisinya.

Walaupun demikian, secercak harapan tetaplah ada. Dengan usaha dan kerja keras, tidak mustahil akan muncul generasi-generasi pencinta dan penerus sejarah. Dengan kita berusaha, akan memunculkan generasi-generasi anti keterhilangan, dan memunculkan juga generasi-generasi penyuka buku dan pencinta menulis.

Bertolak dari itu, kami dari KDAKI (Kelompok Diskusi Artikel Kristen Indonesia) mencoba untuk mengusik kondisi ini. Dengan untaian kata dalam beberapa artikel, kami mencoba mempertanyakan keberadaan generasi muda. Dan harapannya, hal ini bisa mengugah generasi muda yang membaca untuk bangkit dan bersumbangsi bagi bangsa. Setidak-tidaknya sadar bahwa dirinya hidup di Indonesia, dibutuhkan oleh bangsa Indonesia, dan untuk itu, dia dan kita harus mempersiapkan diri dan berbuat sesuatu.

Setiap bagian tidak diharapkan menyudutkan pihak tertentu. Berbagai data dimunculkan hanya untuk menunjang obyektivitas penulisan. Masukan dan kritikan pun berlaku bagi kita semua, termasuk anggota KDAKI. Jadi, besar harapan kami setiap tulisan yang ada bisa mecerahkan dan memberi masukan positif bagi kemaslahatan kita bersama. Soli Deo Gloria

Oleh: R. Graal Taliawo

Menggapai Kemerdekaan Sejati

Oleh: Ardyanto Kristofel R. Nggili

Semangat persatuan Indonesia terwujud dengan adanya Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Semangat itu adalah semangat untuk bersatu, lepas dari penindasan, dan penguasaan bangsa lain. Satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, demikian seruan pemuda pada waktu itu.

Rasa kebersamaan dalam penderitaan membuat pemuda lebih kuat dan kritis. Jiwa muda yang meledak-ledak mendorong mereka, dan bahkan sampai memaksa para tokoh tua agar mempercepat Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, yang waktu itu sejalan dengan kekalahan Jepang dari sekutu.

Sikap tergesa, tanpa kompromi, dan semangat menjadi nyata ketika terwujudnya Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan Indonesia. Peran pemuda saat itu merupakan cerita kepahlawanan yang tidak akan dilupakan dalam sejarah bangsa Indonesia. Namun sayang, semangat nasionalisme pemuda dulu mulai tak dirasakan lagi di masa ini. Padahal, itu adalah semangat baik yang perlu dijaga bagi kelangsungan hidup kita sebagai sebuah bangsa.

Keberadaan pemuda saat ini mengalami banyak perubahan. Pemuda tidak peduli (apatis) terhadap nasib bangsa. Lihat saja seberapa banyak pemuda yang masih peduli terhadap persoalaan bangsa ini? Gaya hidup pemuda pun tidak lagi mecerminkan ciri hidup bangsa Indonesia. Tingkat tata krama dan sikap sopan santun pun mengalami degradasi. Tidak dipungkiri, perkembangan jaman menuntut pola pikir dan penyesuaian yang berbeda. Pemuda dibuat harus mengikuti perkembangan jaman agar tidak disebut ketinggalan jaman. Pergaulan bebas membawa pemuda pada perilaku membahayakan dan merusak masa depan, seperti narkoba, seks bebas, kecanduan alat-alat elektronik (game & facebook). Pemuda lebih rela menghabiskan waktu berjam-jam duduk di depan laptop untuk bermain game atau facebook-kan, dibandingkan membaca dan menulis. Jika banyak waktu yang ada digunakan untuk hal-hal demikian, pertanyaannya adalah masih adakah hati dan waktu buat kita memikirkan persoalan bangsa ini? Dan apakah kebiasaan ini merupakan warisan kemerdekaan yang diharapkan? Tentu tidak!

Bukan saatnya pemuda memperjuangkan kemerdekaan dengan bambu runcing seperti masa kemerdekaan. Tapi yang diharapkan bangsa ini adalah adanya semangat dan jiwa pemuda untuk mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya, yakni bebas dari kebodohan, kemalasan, pertikaian, permusuhan dan mewujudkan bangsa yang bebas dari keterpurukan. Bangsa yang bebas dari situasi politik yang tidak sehat, hukum yang tidak adil, kebobbrokan moral dan perlakuan sewenang-wenang dari kaum elit bangsa.
Kalau dulu lawan kita adalah penjajah (orang lain) dengan perang, maka sekarang yang kita lawan ialah kebodohan dan ketidakadilan. Tidak cukup hanya belajar dan membaca, tapi kita harus mulai memikirkan ide-ide untuk bersumbangsi bagi bangsa. Dan kita juga perlu membudayakan menyalurkan ide melalui tulisan. Dengan begitu, perlahan tapi pasti persoalan bangsa yang kompleks ini dapat diselesaikan, sebab ada ide-ide segar untuk membangun yang bermunculan. Dengannya perjuangan menuju kemerdekaan sejati sesungguhnya dapat dicapai.

Selain itu, rasa cinta terhadap bangsa ini perlu diwujudkan dengan menjaga serta melestarikan berbagai budaya, disamping memakai produk dalam negeri sebagai dukungan terhadap hasil kreatifitas anak bangsa. Semoga!!!

Degradasi Patriotisme

Oleh: Mardiks Ludwik S.

Tidak asing bagi kita mendengar kata “PATRIOTISME”. Kita sering mendengarkan, bahkan mempelajarinya sejak di bangku sekolah dasar. Tapi apakah dengan demikian menjadikan kita orang-orang yang patriot? Atau justru karena tidak asing, membuat kita memandang hal ini sebelah mata dan meremehkannya?

Seringkali makna patriotisme hanya dikaitkan dengan perang, perang, dan perang. Jelas hal ini mereduksi makna patriotisme, padahal tidak sesempit itu makna sesungguhnya. Patriotisme merupakan salah satu wujud kecintaan dan kesetiaan pada bangsa tertentu. Peduli dan tanggung jawab atas keadaan dan kemajuan tanah air termasuk dimensi konstitutif patriotisme. Keunikan, kekuatan dan prestasi tanah air tetap dipelihara moralitas dan kearifan lokal sebuah bangsa itu disegani dunia. (A MacIntyre, Is Patriotism a Virtue ?, 2003, 286 – 300).

Sebelum Sumpah Pemuda dicetuskan, segala pergerakan pemuda Indonesia pada awal abad ke-20 sangat diawasi Politieke Inlichtingen Dienst (PID, sejenis badan intelejen politik di Hindia Belanda), bahkan begitu menegangkan. Dengan berbagai cara dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memecahkan persatuan anak bangsa. Salah satunya dengan mempetakan para pemuda dengan menanamkan identitas etnik seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Minahasa, dll. Tetapi karena telah mengenyam pendidikan yang baik dan mempunyai rasa tanggung jawab atas apa yang dimilikinya, kesadaran akan persatuan tetap lahir dan berdiri kokoh. Kesadaran ini seperti dikatakan filsuf Ernest Renan merupakan hasrat hidup bersama. Dari sinilah cikal bakal lahirnya bangsa Indonesia.

Melihat kondisi generasi muda sekarang, tentu kita sedih dengan apa yang terjadi. Generasi sekarang lebih suka bersikap pragmatis, dan bahkan sikap patriotisme pun seakan memudar. Bagaimana tidak, jika konsumsinya ialah hiburan-hiburan yang tidak menanamkan rasa cinta terhadap tanah air, kering semangat kebangsaan dan nilai-nilai bangsa Indonesia. Akibat, dan bahkan yang mengerikannya, untuk mengatakan “Saya bangga menjadi anak Indonesia“ pun mereka dan kita malu melakukannya. Media massa, khususnya televisi di Indonesia bisa dikatakan tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ini tercermin dari berbagai produk acara hiburan yang disajikan. Acara-acara yang disuguhkan tidaklah mendidik, dan jutru mengarahkan kita kepada paham-paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia.

Apa yang menjadi akar semua ini? Individualisme, Materialisme, dan Hedonisme. Inilah paham-paham yang menjadi sumber masalah di atas. Tak dipungkiri lagi bahwa bangsa kita telah terjebak pada sikap Antroposentris (semua berpusat pada “saya“). Akibatnya korupsi terjadi di semua jajaran pemerintahan, angka pengangguran yang tinggi, perceraian yang membudaya, kebiasaan tawuran antar pelajar, dll. Pertanyaannya, apakah semua ini bisa dibanggakan?

Ungkapan “Pengetahuan adalah kekuatan“ yang disuarakan Francis Bacon membuat para tokoh pemuda seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Moh. Yamin tergerak untuk terus membaca dan berkarya. Sjahrir yang membaca Imannuel Kant, Karl Marx, Jhon Stuart Mill hingga Ortega G. Yasset mengarahkannya bahwa pandangan bahwa “Timur makin memerlukan ilmu pengetahuan dan rasionalisasi barat, sehingga tidak lagi memerlukan mistisisme dan kepasrahan yang membuatnya menderita”. Haruslah membaca menjadi budaya di bangsa ini. Karena salah satu sumber ilmu pengetahuan ialah pemikiran-pemikiran yang tertanam di ujung-ujung pena. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui membaca. Dengan aktivitas ini, pemuda akan dijadikan pribadi yang berpikir terbuka tapi kritis.

Namun bagaimana menjadi kritis? Tentulah harus dengan pengajaran yang benar. Semua harus kembali kepada Tuhan. Karena oleh Dia, kita beroleh pengetahuan. Sebab ada tertulis “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan”.

Sebagai penutup, seringlah bertanya “Apa maksud-Nya, saya dilahirkan di negeri ini (Indonesia)? Dan apa yang harus saya perbuat bagi bangsa ini? Sehingga pada akhirnya satu pernyataan yang keluar dengan penuh kebanggaan dari mulut kita, “Saya bangga menjadi anak Indonesia”. Soli Deo Gloria

Pemuda, Di Mana Sengatmu?!

Oleh: Victor Kurniawan P.

Realita: Hidup di Negara Merdeka
Dua bulan terakhir, kita memperingati dua sejarah besar bangsa ini. Hari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober dan Hari Pahlawan pada tanggal 10 November. Di waktu yang berbeda tetapi memiliki semangat yang sama, yaitu perjuangan untuk bangsa oleh pemuda-pemudi Indonesia melawan ketidakadilan penjajah. Perjuangan pertama di ranah filosofis, dan yang kedua di aspek fisik. Dua perjuangan ini saling melengkapi, yang satu membawa ide besar tentang kesatuan bangsa, sedang yang lain mewujudkan persatuan bangsa lewat perjuangan secara fisik untuk mengusir penjajah. Hasilnya bisa kita nikmati hingga saat ini, yakni kemerdekaan.

Namum, tampaknya perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan tersebut belum selesai. Penjajah memang telah pergi, tetapi kemerdekaan tersebut belum sungguh-sungguh ada di Negara ini. Kemiskinan, korupsi, pendidikan yang tidak merata bahkan tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, permasalah lingkungan hidup, dan keadilan. Kasus terakhir yang sedang populer adalah konflik antara KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan Polri (Kepolisian Republik Indonesia) yang membuka aib carut marut lembaga peradilan kita, yang seharusnya membawa keadilan kepada masyarakat, tetapi terlibat konspirasi untuk mewujudkan ketidak adilan. Keadaan dan fakta ini menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya merdeka, kalau dulu kita di jajah oleh bangsa lain, sekarang kita dijajah oleh diri kita, ego kita sendiri, dan anak bangsa sendiri.

Pemuda Indonesia hidup dalam realitas itu, dimana kemerdekaan tidak dinikmati semua orang, dan hanya menjadi hak ekslusif sebagian kecil orang. Padahal dalam pembukaan undang-undang dengan jelas dikatakan “dengan rahmat sentosa mengantarkan bangsa Indonesia, ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu , berdaulat adil dan makmurl”. Kalimat pembukaan ini jelas sekali menuliskan kata bangsa Indonesia, ini berarti bukan sebagian bangsa Indonesia tetapi seluruh bangsa Indonesia. Sehingga, kita dapat melihat bahwa perjuangan masih harus dilanjutkan karena masih banyak saudara-suadara kita yang belum menikmati kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan. Pemuda Indonesia harus bangkit sebagaimana para pendahulu kita di masa lalu, yang bangkit dimasa mudanya untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa ini.

Perjuangan Menuju Cita-cita Bangsa
Cita-cita bangsa, seperti yang tercantum dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945, jelas sekali menunjukkan satu konsep kemerdekaan yang utuh. Menurut Dr Dorothy I Marx dalam bukunya Kebenaran Meninggikan Derajat Bangsa secara implisit menyatakan bahwa kemerdekaan tidak hanya bebas dari perhambaan, penjajahan tetapi kita perlu dimerdekakan dari ketakutan, ancaman, diskriminasi, ekploitasi, manipulasi, keserakahan, setelah itu kita perlu dimerdekakan untuk bebas berbicara, bebas beragama (tidak ada diskriminasi agama), bebas bekerja, bebas hidup sejahtera, bebas belajar, bebas untuk menempati posisi yang layak (dengan cara yang wajar), berpartisipasi dalam pemilihan umum, berpolitik, dan beribadah.

Secara de jure (menurut hukum), kita patut mendapatkan kemerdekaan seperti itu. Tetapi pada de facto (kenyataannya) kita masih jauh dari realisasinya. Jarak antara kondisi ideal dengan realita inilah yang harus kita perjuangkan dengan segala daya dan upaya kita.

Pemuda harus bangkit seperti sejarah masa lalu, dimana pemuda menjawab panggilan bangsa untuk berjuang melawan penjajahan bangsa lain. Saat ini juga demikian, pemuda harus menjawab tantangan jaman ini dengan karya, etika, dan intelektualitas. Pemuda Indonesia harus berani mengorbankan ego, ambisi pribadinya untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Pemuda Indonesia tidak boleh hanya berwacana tetapi miskin terobosan dan tindakan. Pemuda Indonesia harus seperti Saur Marlina “Butet” Manurung, seorang sarjana sastra dan antropologi, yang meninggalkan kenyamanan untuk mendidik anak-anak suku anak dalam atau kubu. Pemuda Indonesia harus seperti WR Supratman dengan melantunkan melodi indah untuk negeri melalui karya agungnya yang kita lantunkan hingga sekarang, walaupun dia harus dipenjara untuk suara nasionalismenya tersebut. Pemuda Indonesia harus jujur seperti Hoegeng Iman Santosa, seorang Polisi yang mencintai bangsanya hingga tidak pernah menerima uang suap.

Perjuangan bangsa ini menuju kemerdekaan sejati masih panjang. Pemuda dimana sengatmu, mana karyamu untuk bangsa ini?

Wujudkan Perdamaian Tanpa Kekerasa

Oleh: Elfitri K.

Hari Sumpah Pemuda telah lama berlalu. Namun, akankah semangat Sumpah Pemuda turut larut seiring berjalannya waktu?

Sejarah mencatat, Sumpah Pemuda merupakan simbolik dari puncak peran pemuda dalam perjalanan kemerdekaan bangsa Indonesia. Sejarah perjuangan merintis kemerdekaan bangsa Indonesia mencatat Sumpah Pemuda, peristiwa 28 Oktober 1928 sebagai motivasi, semangat dan tekat mengusir penjajah dari Indonesia. Hal tersebut menjadi salah satu karya pemuda dan menjadi salah satu tonggak perjalanan bangsa Indonesia. Delapan puluh satu tahun yang lalu, semangat persatuan dan kesatuan yang dilandasi kesadaran bahwa seluruh warga Indonesia berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia, berbahasa satu, yaitu bahasa Indonesia dan bertanah air satu, tanah air Indonesia, hadir dan menjadi peristiwa bersejarah bagi Indonesia. Sampai akhirnya, kemerdekaan diperoleh dengan perjuangan keras masyarakat Indonesia yang didalamnya terdapat semangat pemuda bangsa Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dan diharapkan akan terus menjadi jiwa bangsa Indonesia.

Namun bagaimana dengan pemuda saat ini? Masihkah semangat Sumpah Pemuda ada dalam diri pemuda Indonesia?

Keberadaan pemuda dalam suatu bangsa sangat dibutuhkan. Keberadaannya sebagai 
manusia muda yang masih memiliki perjalanan panjang dalam hidupnya diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi bangsa. Kita sering mendengar pernyataan bahwa pemuda adalah agen perubahan suatu bangsa. Pemuda diharapkan dapat berperan sebagai penerus estafet perjuangan yang meneruskan dan menentukan masa depan suatu bangsa. Sejarah membuktikan mengenai peranan pemuda yang sangat mendominasi dalam setiap perubahan yang ada di dunia ini. Hal ini menyatakan pemuda sesungguhnya bukan hanya bagian dari lapisan sosial dalam masyarakat, namun pemuda menjalankan peranan penting dalam perubahan sosial. Tetapi, jauh dari itu, pemuda merupakan penerapan sebuah konsepsi seorang pemimpin dan pemilik masa depan bangsa. Tapi, apakah konsep pemuda demikian ada dalam diri pemuda Indonesia saat ini?

Ironis memang ketika pemuda tidak tahu perannya dalam suatu negara. Namun, tragis ketika pemuda tidak mengetahui hal yang menjadi tujuan hidupnya. Tidak menutup mata ketika saat ini kita menyaksikan kondisi pemuda Indonesia. Jangankan memikirkan perannya bagi bangsa Indonesia, hal yang terbaik bagi dirinya saja sering lewat dari pemikirannya. Hal ini menunjukan kondisi yang terbalik. Kini, bangsa Indonesia “kewalahan” dalam mengolah manusia muda yang saat ini mencapai nilai tertinggi sebagai pengisi lowongan pengangguran. Salah satu kondisi ini menjadi ‘PR’ besar bagi bangsa. Kemanakah pemuda Indonesia? Dimanakah semangat pemuda yang pernah membuat bangsa Indonesia bangga? Hal yang diharapkan ialah ketika seorang pemuda memiliki tujuan hidup yang benar dalam dirinya, tanpa harus memikirkan perannya, tujuannya akan membawanya menjadi pahlawan kecil yang membuat bangsa Indonesia kembali bangga akan pemuda.

Tujuan hidup sering didengar dengan istilah visi. Visi ialah konsep yang menjadi pandangan dalam hidup seseorang. Dalam mewujudkan visi, seseorang harus memiliki misi atau gambaran suatu hal yang akan dikerjakan. Visi dan misi inilah yang akan membawa seseorang mencapai tujuan dalan kehidupannya. Visi dan misi hidup seseorang dapat dianalogikan sebagai sebuah kurikulum. Kurikulum merupakan sebuah rencana kegiatan, yaitu rencana yang memberikan pedoman pada suatu pengajaran. Sebagai contoh, untuk mencapai suatu target atau tujuan pendidikan, departemen pendidikan harus menentukan kurikulum yang relevan dengan tujuan yang akan dicapai dalam suatu pengajaran. Jadi visi, misi, tujuan, dan kurikulum memiliki beberapa hal yang sama yaitu memiliki jalan, usaha, rencana kegiatan yang dikerjakan untuk mencapai sebuah tujuan tertentu. Sekarang, yang menjadi pertanyaan ialah sudahkah para pemuda Indonesia menentukan visi dan misi dalam hidupnya?

Akhir September lalu, dikawasan wisata Anyer digelar konferensi pemuda Internasional 2009, yang hasilnya menyatakan para pemuda siap berperan dalam mewujudkan perdamaian dunia tanpa kekerasan dan radikalisme. Pembacaan hasil konferensi yang diikuti 150 pemuda dari 25 negara dan 5 benua oleh Ade Rossi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjelaskah bahwa pemuda menyatakan sikap tentang peranan pemuda mewujudkan perdamaian dunia tanpa kekerasan dan radikalisme dan akan diwujudkan melalui pendidikan, budaya, olahraga, pemberdayaan masyarakat dan teknologi informasi.

Hal ini menjadi ranah baru bagi pemuda. Sebagai pernyataan yang muncul, diharapkan ini merupakan mimpi yang akan diwujudkan oleh pemuda Indonesia, yakni mewujudkan perdamaian tanpa kekerasan dan radikalisme. Mengenai hal ini, semoga tidak menjadi sebuah peristiwa yang hanya sekedar pada rana pemikiran atau retorika saja melainkan akan menghasilkan tindakan yang benar-benar memperlihatkan peran pemuda Indonesia dalam mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh pemuda Indonesia sebelumnya. Selanjutnya, semoga negara juga tidak hanya mengetahui definisi dan sejarah perjuangan pemuda serta menyampaikan segudang harapannya bagi pemuda. Tapi negara juga wajib mengetahui apa yang menjadi kebutuhan pemuda, serta negara harus berstrategi agar bisa membangun pemuda Indonesia. Semoga!!!

Apa Makna Sumpah Mu?

Oleh: R. Graal Taliawo

Memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Pahlawan, media massa dipenuhi beragam pendapat. Ada yang mengangkat nilai semangat, namun ada pula yang mempertanyakan relevansi semangatnya. Semua apresiasi bertujuan menggugah generasi muda agar bangkit, dan menyumbangkan sesuatu bagi perbaikan bangsa.

Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa adalah seruan, dan komitmen (SUMPAH) yang dicetuskan pemuda pada waktu itu. Sebagai ”SUMPAH” menandakan pernyataan ini bukanlah hal yang main-main. Mereka konsisten dengan yang dikomitmenkan, dan dibuktikan dengan kemerdekaan yang dihasilkan kemudian hari. Kondisi hidup mereka pun sungguh jauh dari menyenangkan, berjuang tanpa gaji atau diikat oleh upah yang menjanjikan. Bagi mereka, merdeka dan hidup mandiri adalah alasan yang cukup untuk berjuang.

Komitmen dan semangat heroik ini sungguh berbeda jika dikontraskan dengan kondisi umum generasi sekarang. Politisi muda misalnya, takkala jabatan diperolehnya, janji kampanye yang sesungguhnya adalah komitmen (SUMPAH) menghilang dan tak membekas. Sumpah para pejabat saat dilantik pun kini bukan hal sakral yang bisa dipegang. Sumpah mengalami reduksi dan menjadi kebiasaan yang tanpa makna. Sumpah yang dulunya menjadi ucapan ampuh, kini sama saja dengan hujatan saat berada di depan peradilan. Masih perlu kah bersumpah, jika ternyata kini sumpah hanya sebagai formalitas saja? Apa guna bersumpah jika setiap kesaksian dipengadilan adalah ucapan kebohongan belaka? Apa gunanya bersumpah jika setiap putusan adalah hasil kompromi politik? Sungguh luar biasa bangsa ini, maka wajar jika kita diterpa berbagai bencana dan menjadi bangsa yang seakan mundur beberapa langkah.
Kebenaran meninggikan bangsa dan dosa membuat kemunduran, artinya suatu bangsa akan mengalami kebangkitan jika kebenaran ada dan menjadi tuan. Namun melhat hiruk-pikuk bangsa Indonesia, sepertinya ketidakbenaran masih menjadi tuan kita. Maka jangan heran jika kemunduranlah yang kita petik.

Sungguh mencegangkan melihat dinamika hukum dan politik sekarang. Berbagai kasus suap dan manipulasi kesaksian dan kasus dilakukan oleh orang-orang yang pernah dan bahkan menghapal isi dari sumpah jabatannya. Bersumpah untuk bertindak sesuai hukum, namun sekarang yang terjadi adalah hukum disesuai dengan orang yang bertindak. Hukum dipermainkan oleh penegak hukum, dan hukum dipakai untuk menindak kebenaran. Inilah bukti jika ketidakbenaran sedang menjadi tuannya.
Quo Vadis bangsa ini? Demikian pertanyaan yang relevan bagi kita. Mau ke mana bangsa Indonesia jika hukum yang menjadi pagar bagi arah perjalanan telah dirusak? Hukum yang menjadi dasar pijakan hidup kita hanya berkutat pada unsur normatif dan lepas dari unsur substansinya, yakni keadilan?

Kutuk dan semua pertanyaan miris ini muncul, diakibatkan oleh adanya sikap main-main dengan SUMPAH yang diucapkan para pejabat dan pemimpin bangsa ini. Dan lebih-lebih oleh kita yang sering juga bersumpah. Bukankah kita setiap hari senin atau dalam kegiatan tertentu bersumpah dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya? Betapa sering kita mengucapkan kata dalam bait...di sanalah aku berdiri jadi pandu Ibuku...Tapi berapa benyak di antara kita, generasi muda yang sudah mempersiapkan diri untuk menjadi pemandu-pemandu bangsa yang berkualitas? Apakah kita sudah sering membaca-menulis, memperlengkapi diri untuk menata masa depan bangsa yang lebih baik? Seberapa banyak aktivitas yang kita lakukan yang diorientasikan untuk masa depan bangsa, dibandingkan dengan tujuan-tujuan pribadi kita (dapat nilai, kerja, dapat duit, dan selesai)? Artinya bukan hanya pejabat, namun masyarakat dan mahasiswa pun ikut-ikutan bermain dengan Sumpah! Sehingga wajar jika berbagai musibah, dan ketidakberhasilan pembangunan menerpa bangsa ini.

Padahal jelas Sumpah adalah komitmen yang bukan hanya terlihat oleh manusia, namun terdengar oleh PENCIPTA. Di sinilah letak signifikansi makna dari Sumpah, yakni komitmen yang diikat oleh dan dengan Pencipta. Maka kutuklah yang kita peroleh jika setiap orang yang mengucapkan sumpah bersikap asal-asalan dan bermanipulasi dengan Pencipta.
Mengapa kemerdekaan bisa kita raih? Salah satunya karena adanya keseriusan sikap generasi dan pelaku (pahlawan) sejarah Indonesia pada waktu itu dalam memandang dan memaknai ucapan ber-Sumpah. Mereka serius dan sungguh-sungguh, sehingga bisa jadi saat Sumpah Pemuda dilakukan, ada begitu banyak air mata yang berlinan. Bukan karena cenggeng, namun karena ada kesungguhan dalam mengucapkannya.

Sumpah yang merupakan hal serius perlu dikembalikan pada fitrahnya. Sebagai komitmen, sumpah tidak boleh diucapkan asal-asalan dan sambil lalu. Memerlukan sikap serius dan penuh kesungguhan dalam mengucapkan (bukan kata-katanya yang benar) dan perlu komitmen untuk melakukan. Jika tidak perlahan tapi pasti bangsa ini akan terus mengalami kemunduran dan menjadi bangsa yang terhilang. Harapan!!!

Mahasiswa Kristen dan Sumpah Pemuda

Oleh: Teguh W.

Sumpah Pemuda merupakan pernyataan komitmen tentang persatuan anak bangsa dalam rangka memajukan negara ini. Pemuda-pemuda daerah yang pada awalnya berjuang secara separatis akhirnya menyadari pentingnya semangat persatuan dan kesatuan. Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes dan semua elemen pemuda lainnya dari berbagai daerah meleburkan semangat perjuangan mereka menjadi satu di dalam butir-butir Sumpah Pemuda, di tengah keberbedaan yang mereka miliki. Kelahiran Sumpah Pemuda membuktikan bahwa persatuan tidak akan lahir tanpa ada pluralitas. Dan kesatuan dalam pluralitas itulah yang akhirnya melahirkan kemerdekaan bangsa ini.

Lalu bagaimana dengan masa kini? Apakah semangat persatuan di tengah pluralitas masih mengakar di hati setiap anak bangsa? Faktanya adalah saat ini isu-isu sektarian makin mengemuka di berbagai daerah. Diskriminasi makin menjadi-jadi di berbagai bidang. Semangat Sumpah Pemuda yang menghargai perbedaan makin terkikis. Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa seharusnya Sumpah Pemuda menjadi dasar yang mengokohkan eksistensi pluralitas di tengah bangsa ini. Keanekaragaman sesungguhnya adalah modal dan harta berharga dalam perjuangan memajukan bangsa. Bangsa ini akan hancur apabila tidak segera kembali kepada nilai-nilai luhur Sumpah Pemuda. Bangsa ini tidak akan maju apabila tidak belajar menginsyafi kekayaan perbedaan yang terkandung dalam semangat “Tanah Air Satu, Bangsa Satu dan Bahasa Satu”.

Hal ini harus kembali disadari oleh seluruh elemen bangsa, termasuk orang Kristen, khususnya mahasiswa Kristen. Mahasiswa Kristen yang juga merupakan bagian dari pluralitas harus sadar bahwa dirinya pun adalah aset pembangunan bangsa. Mahasiswa Kristen adalah kaum akademis yang sebenarnya punya banyak potensi. Namun karena merasa minoritas (rasa tidak harus ada) dan sering terkurung hanya dalam aktivitas gereja atau PMK, maka potensi itu tidak terlihat. Banyak mahasiswa Kristen yang tidak berkarya bagi bangsa. Dan bagi sebagian kecil yang berkarya, seringkali karya mereka tidak terlihat karena terhimpit oleh isu-isu sektarian. Seringkali mereka tidak berkarya dengan maksimal karena sempitnya peluang, dan kurangnya kualitas untuk memberikan sumbangsih bagi bangsa. Mereka sering tidak dianggap karena minoritas, padahal dalam konteks Indonesia, pemahaman ini tidak boleh ada. Hal ini membuat banyak mahasiswa Kristen pergi ke luar negeri, karena peluang berkarya di sana lebih terbuka. Ataupun kalau ada yang tetap di Indonesia, mereka hanya membangun kerajaan mereka sendiri, tanpa peduli pada permasalahan bangsa.

Apabila semangat Sumpah Pemuda benar-benar kembali diresapi dan dihidupi, maka akan ditemukan inspirasi untuk menyelesaikan masalah ini. Bangsa ini kembali kepada pada nilai-nilai yang menghargai perbedaan. Setiap perbedaan ada untuk saling melengkapi. Setiap elemen dalam bangsa ini akan saling mendukung walaupun banyak yang berbeda. Dengan kembali pada semangat Sumpah Pemuda, setiap golongan termasuk mahasiswa Kristen akan dirangkul untuk bersatu membangun bangsa, tanpa memandang siapa mereka.

Demikian juga semangat Sumpah Pemuda menuntut mahasiswa Kristen untuk tidak menjadi katak dalam tempurung. Mahasiswa Kristen harus terjun dan membaur di tengah elemen masyarakat lain untuk menunjukkan kontribusinya bagi bangsa. Selama menjadi mahasiswa, kita tidak boleh hanya terkurung di dalam tembok-tembok gereja dan PMK (UKM Kristen) saja. Kita tidak boleh hanya berkutat pada kepentingan pribadi yang sempit, yakni pergumulan pribadi yang kelihatan rohani. Kita harus bergumul tentang bangsa kerena itu merupakan PANGGILAN kita. Kita juga harus memberikan pengaruh bagi bangsa, karena Tuhan, yang kita sembah, menempatkan kita sebagai warga negara Indonesia yang bukan hanya sekedar tinggal ngekos. Tapi Indonesia harus ditempatkan sebagai rumah sendiri. Dan ingat! kita adalah putra dan putri Indonesia yang harus turut bersumpah dan memaknai Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda bagaikan janji abadi yang mengikat seluruh pemuda-pemudi untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik. Maka hidupilah itu, majulah Indonesia. Dan berkaryalah mahasiswa Kristen Indonesia!!!