Minggu, 18 April 2010

Editorial,

Perjalanan suatu bangsa tidak lepas dari perubahan. Bangsa Indonesia juga mengalami deras gemburan perubahan itu. Di tengah hiruk-pikuk gelombang kasus yang bermunculan, mulai dari kasus Bank Century, isu barter kasus, serta fakta penyimpangan atau korupsi pajak, Indonesia juga dihadapkan dengan berbagai tantangan perubahan ekonomi dunia. Penandatanganan berbagai perjanjian perdagangan bebas mendorong Indonesai segera berbenah dalam menghadapi konsekuensi-konsekuensi perjanjian itu. Bagaimana tidak, ketika perdangangan bebas mulai dijalankan, keluhan dari pelaku ekonomi domestik (lokal) mulai bermunculan. Bagi masyarakat, perdagangan bebas mungkin tidak terlalu berdampak. Namun, bagi pelaku ekonomi kecil, terutama yang bergerak dalam bidang tekstil, pelaksanaan perjanjian ini cukup mengonjangkan. Persaingan harga dan kualitas produk dari berbagai negara pun tak terelakan. Pelaku ekonomi tekstil dan pedangang kebutuhan harus memutar otak dan beradu strategi dalam berdagang. Pemerintah juga diminta melakukan langkah-langkah antisipatif melalui kebijakan pintar yang melindungi pelaku ekonomi nasional.

Di sisi lain, tuntutan perubahan dan percepatan reformasi birokrasi makin genjar dilakukan masyarakat pemerhati lembaga penyelenggara negara. Berbagai kasus korupsi yang mencuat semakin memiriskan hati dan harapan masyarakat terhadap aparatus kita. Lembaga yang menjadi contoh pelaksanaan reformasi birokrasi justru mengalami pendangkalan citra akibat kasus suap dan korupsi pajak yang menimpanya. Seorang PNS dengan golongan IIIA mampu mendulang harta karung dengan miliaran rupiah. Kondisi ini membenarkan mengapa lembaga internasional menempatkan kita sebagai salah satu negara terkorup di dunia, dan bahkan nomor satu di Asia Tenggara.

Selain itu, masyarakat, khususnya mahasiswa juga mengalami persoalan integritas dan krisis citra diri. Gejolak dan konflik mewarnai perjalanan kehidupan kampus beberapa bulan terakhir. Mahasiswa yang seharusnya menjadi motor penggerak dalam menantang dan menjawab perubahan terbukti “membleh” alias gagal menggemban tugas mulia ini. Mahasiswa terlalu sibuk dengan berbagai agenda, namun sayangnya semua agenda (kegiatan) itu berjalan asal dan tanpa dampak berarti bagi kehidupan bangsa ini. Kemiskinan idealisme dan miskin rujukan moral juga menimpa pergerakan mahasiswa. Akibatnya mahasiswa tak ubahnya identitas yang tak bermakna lebih, jika dibandingkan dengan identitas sosial lainnya.

Munculnya sarana komunikasi atau jejaring sosial baru menjadi sarana interaksi dan kekuatan penekan yang memadai. Bahkan, dalam beberapa kasus, seperti kasus Prita (kumpul koin), dan kriminalisasi KPK, berhasil diatasi berkat adanya jejaring sosial seperti Facebook (FB). Namun, adanya situs-situs ini juga menyulut berbagai masalah baru—akibat sikap penyimpangan terhadapnya. Bagaimana kita menyikapinya, apakah dengan mengharamkan FB? Tentu tidak! Yang harus dilakukan adalah mendorong terjadinya pendewasaan dan pembinaan moral terhadap masyarakat agar cerdas dalam mengunakan Facebook.

Dengan latarbelakang inilah, kami dari KDAKI (Kelompok Diskusi Artikel Kristen Indonesia) mempersembahkan Buletin Edisi ke-III sebagai sumbangsih dalam menatap perubahan. Semua paparan merupakan pergulatan idealisme dalam menyikapi fakta. Data dalam analisa dihadirkan sebagai dasar membangun argumentasi, sehingga jauh pula dari tujuan menyudutkan pihak-pihak tertentu.

Akhirnya, teriring doa dan besar harapan agar setiap bahasan mencerahkan nalar dan pikiran kita semua. Selamat membaca....
Oleh: R. Graal Taliawo

Indonesa di Tengah Tantangan Ekonomi Asia


Oleh: Banowati (Cand. S.E)

Sebagian kita tidak asing dengan istilah era globalisasi atau sering dipahami dengan era tanpa batas. Era tanpa batas inipun tidak hanya dalam bidang informasi, namun mencakup bidang lainnya. Dalam konteks ekonomi, Indonesia mulai memasuki era tersebut pada tahun 2002 melalui kesepakatan AFTA (ASEAN Free Trade Agreement) untuk kawasan ASEAN. Kemudian Indonesia melalui Menteri Perdagangan pada tanggal 28 Februari 2009 bersama sejumlah menteri Perdagangan ASEAN, Australia dan New Zaeland menandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean, Australia, New Zealand Free Trade Area). Sementara itu, sejak bulan Januari 2010, perjanjian ASEAN-China juga mulai diberlakukan. Dan rencananya tahun 2020 untuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) di kawasan Asia dan Pasifik.

Pokok dari semua perjanjian itu adalah masing-masing negara, yang terlibat perjanjian, akan menurunkan tarif bea masuk barang dan jasa menjadi nol persen (0%)—dengan tahapan-tahapan yang disepakati. Pada perjanjian AANZA-FTA, sekitar 86% dari pos tarif Indonesia bertahap akan menjadi 0% pada 2015, atau sekitar 13% tarif menjadi 0% pada 2009. Dari Australia, 92 % menjadi 0% pada tahun pertama. Dan lebih dari 70% pos tarif Selandia Baru juga menjadi 0% di tahun pertama. Sementara produk peternakan, seperti daging dan susu dari kedua negara itu dinolkan pada tahun 2017—2020.

Jika semua tarif diturunkan menjadi 0% maka dapat dipastikan ketergantungan pada impor kian meninggi. Hal ini disebabkan oleh produksi dalam negeri yang masih belum memadai dan mampu memenuhi kebutuhan. Dan sementara itu, industri pertanian dalam negeri yang kini terseok akibat gempuran produk impor akan semakin terpukul dan tergilas. Perjanjian perdagangan memberi pengaruh jangka panjang bagi kondisi perdagangan dalam negeri, khususnya Indonesia. Kemudahan dan rendahnya biaya impor berpotensi menjadikan Indonesia kian bergantung dengan produk luar. Terlebih karena pandangan masyarakat Indonesia yang sudah terlanjur dengan konsep, “bahwa produk impor pasti lebih berkualitas”. Di sisi lain, pasar lokal adalah lahan potensial bagi industri dalam negeri. Melalui peluang pasar lokallah industri dalam negeri bisa bertahan hidup. Kalau sudah seperti ini, kita sudah sangat bergantungan dengan produk impor, wajah industri dalam negeri yang semakin tertekan, apa yang harus Indonesia perbuat? Akankah kita berdiam diri ketika muncul berbagai serangan ekonomi dari negara tetangga? Relakah kita sebagai anak bangsa melihat industri dalam negeri mati tercabik-cabik oleh macan-macan ekonomi Asia?

Matinya industri dalam negeri tentu memunculkan masalah baru, dan merupakan beban bagi perekonomian bangsa ini. Sebelum terlanjur mati, Indonesia perlu segera mengambil langkah-langkah antisipatif. Salah satunya dengan cara segera memperbaiki dan menyiapkan industri dalam negeri agar siap dan mampu bersaing dengan industri negara tetangga.

Sebagaimana hutan rimba, begitu juga kondisi persaingan ekonomi dunia saat ini. Hukum rimba mengatakan; siapa yang kuat, dia yang mampu bertahan hidup. Begitu pun dengan kondisi perdagangan ekonomi dunia, dan Asia khususnya. Setidaknya dalam bidang ekonomi, Indonesia harus menjadi macan (kuat perekonomiannya) jika bermimpi bersaing di tengah kondisi perdagangan bebas. Dan akan lebih baik jika Industri Indonesia mampu menjadi gajah, menguasai daerahnya sehingga macan (negara tetangga) tak sanggup merebut wilayah kekuasaanya (wilayah penguasaan pasar).

Dibutuhkan komitmen semua pelaku ekonomi untuk memperkuat pertumbuhan perekonomian nasional. Memperkuat diri diperlukan agar perekonomian Indonesia mampu menjadi macan, dan bahkan bisa menjadi gajah ekonomi. Namun, posisi ekonomi yang demikian (dibaca: kuat bagaikan gajah) tidak dapat dilakukan tanpa dukungan berbagai pihak. Pelaku industri dalam negeri dan atau produsen harus memiliki kepekaan terhadap kondisi perdagangan, serta memahami produk seperti apa yang harus di produksi yang sesuai dengan kebutuhan pasar bidikannya. Persaingan memaksa setiap pelaku ekonomi industri untuk terus mengembangkan dan menyempurnakan produknya. Hal ini dibutuhkan sebagai syarat agar industri tetap bertahan dan layak untuk bersaing. Maka, terus berinovasi terhadap produknya adalah tanggungjawab bagi produsen.

Pemerintah sebagai penanggungjawab utama ekonomi juga perlu memikirkan regulasi atau kebijakan yang mendorong industri domestik menjadi lebih kompetitif. Hal ini bisa dilakukan melalui pemberian dukungan agar kemudahan dalam pendanaan bisa dinikmati oleh industri nasional. Pemerintah juga perlu meninjau kembali serta memperbaiki berbagai aturan (kebijakan) ekonomi yang berpotensi, dan dinilai menghambat Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas. Jika industri dalam negeri telah didukung pemerintah, dan terbukti mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas, maka di sisi lain masyarakat (termasuk mahasiswa) juga perlu mendukung melalui kesediaannya menggunakan produk dalam negeri.

Selain itu, Indonesia perlu melirik strategi pengembangan ekonomi negara tetangga sebagai rujukan pertimbangan, seperti negara China. Jika industri dalam negeri mampu meniru strategi yang digunakan China dalam usahanya menguasai pasar dunia, hal ini memungkinkan berdampak besar bagi kondisi perdagangan Indonesia. China mampu menguasai perdagangan karena produktivitas tenaga kerja yang tinggi dan massal. Di saat bersamaan negara komunis ini agresif mendorong ekspor ke luar negeri dengan kebijakan yang bersaing. China menerapkan tarif pajak hingga 0% bagi ekspor. Kebijakan ini kemudian menekan harga ekspor.

Selain karena minus biaya ekspor, dengan strategi produksi massal, biaya produksi China amat rendah dan nilai jual produknya pun (per unit) tergolong murah. Namun, kelemahannya, produk China juga terkenal dengan kualitas yang rendah dan masih jauh dari harapan. Jika Indonesia mampu mengikuti strategi China namun dengan tetap mempertahankan kualitas yang baik, maka bukan mustahil industri dalam negeri akan menjadi macan, bahkan mejadi gajah perekonomian.

Referensi:
1. www.korananakindonesia.wordpres/antisipasi_terhadap_dampak_buruk_perdangangan_bebas_asean-china. Oleh klinikpediatri.