Minggu, 18 April 2010

Mahasiswa, Jangan “Bodong” (dong)


Oleh: R. Graal Taliawo

Mendengar kata bodong, kita langsung dibawa pada kaitan kasus Bank Century. Kata bodong dalam tulisan ini memang bermakna sama dengan kata bodong dalam kasus Bank Century (deposito bodong: kosong). Apa kaitannya dengan mahasiswa?

Realita konflik tidak hanya menjadi bagian dari masyarakat kurang terdidik. Namun mahasiswa, yang dari namanya seharusnya terdengar intelektual, ternyata ikut terjebak dalam arus berbagai konflik. Berbagai aksi demonstrasi yang berujung pada aksi anarkis adalah gambaran yang hampir biasa bagi mahasiswa. Berbagai aksi jalanan (demo), jika mungkin disebut demikian adalah fenomena yang tak lepas dari mahasiswa.

Dalam berdemokrasi, aksi demo bukanlah tindakan haram. Hanya saja, aksi demo harus bermanfaat dan dilakukan dengan cara elegan nan jauh dari sikap anarkis. Demo yang berujung anarkis dengan alasan apapun bukanlah suatu aksi yang patut dijempoli.

Selain cenderung diisi dengan aksi-aksi yang brutal, gerakan aksi mahasiswa yang adapun jauh dari gagasan intelektual. Banyak aksi yang dilakukan dengan pijakan yang tidak kuat. Alasan mengadakan aksi dan mengikuti aksi pun terkadang miskin argumentasi. Atau, biasanya aksi hanya diisi dengan teriakan dan slogan-slogan mengecam, namun ketika diminta bersolusi terhadap masalah, kita (mahasiswa) cenderung miskin gagasan atau solusi. Dan ironisnya sekarang, terkadang gerakan yang pada tahun 60-an disebut gerakan kaum idealis ini cenderung ditunganggi oleh kepentingan politik tertentu.

Semua degradasi ini terjadi karena; pertama, mahasiswa miskin buku dan miskin pula dalam minat baca. Harus diakui, mahasiswa di zaman edan ini mengalami krisis dalam hal kompetensi membeli dan membaca buku. Ketiadaan minat baca membuat mahasiswa kekeringan isi otak dan ide baru. Akibatnya, tatkala ditantang bersolusi, mahasiswa hanya bisa menjawabnya dengan teriakan dalam slogan-slogan pendek nan kosong. Buktikan ketiadaan minat baca ini dengan melirik koleksi buku yang dimiliki mahasiswa (cek ke kamar kos, dan lihat berapa buku yang anda dan saya miliki). Apakah ada buku yang dikoleksi, setidaknya buku kelimuan (minat ilmu) yang menjadi koleksi bacaan? Atau bisa jadi rak buku kita lebih didominasi bacaan komik, dan atau parahnya bacaan-bacaan porno? Sebenarnya, tanpa harus membeli pun kita tetap bisa membaca dan mengisi diri—kalau ditopang dengan semangat kuat untuk membaca. Kita bisa dengan teratur membaca di Perpustakaan, dan atau rajin-rajin ke toko buku dan bermalam mingguan di sana sambil membaca buku.

Kedua, akibat kehidupan pragmatisme dan materialisme yang menghinggapi. Mahasiswa berstudi hanya untuk lulus dan kerja. Mahasiswa terjebak dalam kurungan hidup dengan orientasi materi. Bahkan studi pun dipatok berujung pada pemenuhan materi, yakni mendapat kerja, duit, dll. Akibatnya, bagi mahasiwa tipe ini, nilai dan mendapat nilai adalah hal yang terpenting. Sehingga bukan mendapat ilmunya yang terpenting. Untuk apa membeli buku, kalau ternyata dengan dan tanpa membeli buku bisa mendapat nilai A (memuaskan, dll). Bukankan cukup bagi saya dalam menjawab pertanyaan dan merespon materi yang disampaikan oleh dosen? Bertolak dari inilah, maka idealisme mengisi diri dengan bacaan dirasa tak diperlukan. Padahal, gagasan dan ide yang disampaikan dosen dalam ruang kuliah sesungguhnya terbatas, dan bukanlah satu-satunya sumber ilmu bagi mahasiswa. Dosen dan interaksi dalam kelas hanyalah satu cara dalam menemukan, dan mengembangkan gagasan. Selebihnya, mahasiswa harus mencarinya di luar, termasuk melalui mengisi diri dari bacaan-bacaan pribadi.

Idealnya, mahasiswa berperedikat “agen perubahan” mampu mengembang predikat itu dengan bentuk keberadaan yang termaknai. Namun, akibat dua budaya sikap di atas, mahasiswa gagal memaknai keberadaanya. Kita (mahasiswa) tetap melakukan aksi gerakan, namun miskin (Bodong: Kosong) ideologi dan miskin solusi.

Sebagai seorang alumni dari almamater tercinta, penulis pernah bersentuhan dengan beragam aktivis gerakan mahasiswa. Perjumpaan itu sedikit memberi gambaran mengenai kondisi pergerakan mahasiswa, khususnya yang ada di almamater penulis. Awalnya, terpikir bahwa kondisi gerakan mahasiswa di almamater penulis berbeda dengan kondisi pergerakan mahasiswa secara nasional. Namun, ternyata dugaan itu salah. Melalui pemberitaan media, dugaan penulis terbantah—walaupun konteks pergerakan masing-masing daerah berbeda. Artinya, gambaran pergerakan mahasiswa secara nasional, sedikit terwakili dengan kondisi pergerakan yang ada di kampus penulis.

Apa yang terlihat?
Harus diakui sedikit memiriskan hati. Tatkala merenung, pernyataan mahasiswa sekarang “bodong ideologi” dan referensi moral, benar adanya. Pergerakan mahasiswa terus bergerak, namun tidak digerakan oleh ide (ideologi) yang cerdas. Kepentingan, miskin informasi dan data (akhirnya terlihat “ngawur”) masih menjadi lokomotif pergerak aksi mahasiswa. Mahasiswa juga tak ubahnya anggota DPR dan politisi yang selama ini dikritisi dan didemo. Mahasiswa sering melakukan aksi menentang tindakan politisi korup, tidak bermoral, dan berbagai penyimpangan. Namun, ironisnya justru dalam aktivitas gerakan mahasiswa, aksi-aksi yang sama (korupsi ala-PROPOSAL) dalam bentuk berbeda juga ikut menggurita. Di waktu mahasiswa bersuara agar politisi harus bermoral, di sisi lain mahasiswa justru orang yang miskin referensi moral. Ketika moral seharusnya menjadi landasan bagi sebuah aksi, mahasiswa justru mengabaikannya. Seruan dan referensi moral bukanlah sebuah pertimbangan mendasar dalam berbagai keputusan aksi mahasiswa. Padahal saat berdemo, mahasiswa sering mengidentifikasi aksinya sebagai seraun hati nurani atau gerakan “moral”.

Kasus lain, ketika politisi menghalalkan segala cara, mengabaikan etika atau moral, mengandalkan harta, kepintaran serta memiliki motivasi yang salah dalam merebut kekuasaan (maju memimpin), mahasiswa bangkit dan menentangnya. Namun, kondisi ini juga dibudayakan oleh mahasiswa dalam kegerakannya. Dalam berbagai aktivitasnya, baik di kampus dan di kegiatan organisasi pergerakan, pertimbangan moral bukanlah sebuah dasar pijakan pengambilan keputusan. Pertimbangan-pertimbangan moral (kemurnian motivasi, kualitas diri, kemampuan dan karakter kepemimpinan) bukanlah syarat bagi praksis politik di lingkungan kampus. Lagi-lagi, referensi menentukan pilihan masih berkutat pada hal-hal lahiriah yang bisa “menipu” dan “membius”. Kepintaran, kecakapan memimpin (yang terlihat mata; pintar berucap) bukanlah hal sepeleh. Namun lebih dari itu, syarat moralitas adalah dasar dari seorang pemimpin yang seharusnya mendapat porsi pertimbangan utama dalam proses pembelajaran pengambilan keputusan politik. Bahayanya, jika kemudian motivasi dan dasar mengambil keputusan maju memimpin belum beres dan bermasalah, namun karena tampilan lahiriah, orang menganggap seseorang itu mumpuni dalam memimpin. Bagi penulis, lebih baik memiliki seorang pemimpin seperti Mahadma Gandhi—pintar namun rendah hati—daripada seorang nampak (belum tentu) pintar, lumayan cakap berbicara, namun bermoral Adolf Hitler atau Benito Amilcare Andrea Mussolini. Atau yang lagi hangat dalam Pemilkada Pacitan, pemimpin ala-Julia Perez. Siapa yang mau? Artinya jelas kaya, (nampak) cakap berbicara dan beretorika bukanlah satu-satunya referensi dalam mengambil keputusan politik.

Jangan heran jika di kemudian hari (10—20 tahun lagi), mahasiswa-mahasiswa yang hari ini berteriak dan berdemo akan didemo ulang oleh mahasiswa-mahasiswa di zamannya. Percaya atau tidak, tidak sedikit politisi (anggota DPR) hari ini yang sering didemo dengan alasan “moralitas” adalah orang-orang yang 15 atau 10 tahun lalu ikut dalam berbagai aksi protes atas nama moral. Sejarah berulang, dan lagi-lagi ganti generasi tidak membuat kita belajar agar tidak jatuh ke lubang yang sama.

Sudahilah budaya politik salah-kaprah, miskin ideologi, serta miskin referensi moral ini. Mulailah dengan menggunakan rujukan moral sebagai dasar memutuskan. Jika tidak, maka kita adalah mahasiswa yang tak ubahnya anggota-anggota DPR itu, yang selalu jadi sasaran pendemo.

Ada slogan “maling teriak maling”, yang berpotensi mengarah ke mahasiswa dan gerakannya. Maka kita (mahasiswa) harus segera berbenah. Jika tidak, mahasiswa juga akan ikut disebut sebagai gerakan “bodong ideologi”. Dan tak ubahnya sebuah “tong yang kosong, dan yang nyaring bunyinya”. Tentu ini tidak bermakna positif bukan? Sadarilah….

1 komentar:

  1. wow, dalem banget nih om....salut...aku setuju banget nih....Harus rajin baca dan menulis neh...salut om Graal T

    BalasHapus