Minggu, 18 April 2010

Pemakzulan: Nampak Mulus Jalan Tol

Oleh: Jandry Manu

Pemakzulan mungkin sebuah kata yang masih baru ditelinga kita. Pemakzulan sering kita dengar dalam beberapa kasus yang terjadi belakangan ini. Pemakzulan adalah suatu proses dimana badan legislatif, seperti DPR (di Indonesia) menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi Negara. Pemakzulan juga dikenal dengan istilah “Impeachment”, yang sering dipergunakan oleh negara luar dalam menjatuhkan hukuman terhadap pejabat tinggi negaranya. Kasus pemakzulan seperti ini, pernah mewarnai sejarah pemerintahan Amerika Serikat.

Pemakzulan bukan berarti pemecatan, namun merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, seperti pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga pemakzulan merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan. Saat pejabat tersebut dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian berujun pada pemecatan.

Belakangan, kata pemakzulan sering terdengar ketika DPR melakukan investigasi kasus Bank Century melalui Pansus Bank Century. Beberapa pihak terkait, menyatakan pendapatnya dalam kasus Bank Century yang cukup rumit ini. Namun akhirnya drama Century berakhir, paling tidak satu sekuel (bagian) pendahuluan. Ujungnya jelas dan tegas: paripurna DPR RI memutuskan bahwa kebijakan dan implementasi bail out untuk menyelamatkan Bank Century diduga bermasalah. Lalu, apa selanjutnya?

Ada dua pilihan sekuel normatif sebagai lanjutan dari drama Bank Century ini. Pertama, dalam kerangka politik-ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat, bahwa Presiden dan atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum. Dan yang kedua, dalam kerangka hukum, DPR dapat meneruskan dan meminta institusi penegak hukum (Polri, Kejaksaan dan KPK) untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut terkait indekasi-indekasi tindak pidana umum, perbankan dan korupsi di seputar skandal ekonomi-politik Bank Century. Dan langkan kedua inilah yang sedang diproses dan dinanti publik. Namun, sesungguhnya masyarakat juga menunggu sikap berani DPR untuk maju pada langkah yang pertama. Tapi, beranikah wakil rakyat kita melakukan itu?

Dalam UUD ’45 pasal 7, proses pemakzulan baru akan terjadi apabila ada usul dari DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, perbuatan tercela maupun terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden. Usulan DPR tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan kemudian ditindaklanjuti oleh MK. DPR bisa menggunakan hak menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau kejadian yang masuk dalam kategori luar biasa ini.

Jika Presiden dan Wapres ingin dimakzulkan, maka jalan ke arah itu harus dimulai dari penggunaan hak menyatakan pendapat oleh DPR (Pasal 7B ayat 1 UUD 1945, lihat juga UU Nomor 27/2009 Pasal 77 ayat 4). Dalam konteks skandal Bank Century, DPR bisa berpendapat bahwa Presiden dan atau Wapres telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat kebijakan bail out. Pendapat ini kemudian diajukan kepada MK untuk diperiksa, diadili dan diputuskan. Namun, langkah ini baru merupakan langkah permulaan saja. Untuk meloloskan pengajuan pendapat DPR ini ke MK, disyaratkan dukungan dalam sidang paripurna sekurang-kurangnya 2/3 anggota dewan yang hadir. Sementara sidang paripurna itu sendiri wajib dihadiri oleh minimal 2/3 dari jumlah total anggota DPR. Jadi, kalau saja semua anggota DPR dari fraksi Partai Demokrat (PD) tidak hadir, maka sidang paripurna gagal dengan sendirinya.

Jalan permulaan itu tidak mudah, dalam pasal 7B ayat (4) UUD 1945, MK mempunyai waktu 90 hari dalam proses peradilan untuk memeriksa, mengadili, memutus pendapat DPR. Tahap selanjutnya apabila kemudian MK memutuskan bahwa Presiden dan atau Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, maka DPR kembali menggelar sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wapres kepada MPR (Ayat 5 Pasal 7B UUD 1945). Seandainya usul pemberhentian Presiden dan atau Wapres itu berhasil diteruskan oleh sidang paripurna DPR ke MPR, maka tahap selanjutnya rakyat harus menunggu lagi maksimal 30 hari sejak usul pemberhentian itu diterima oleh MPR. Dalam rentang waktu ini MPR wajib memutuskan usul pemberhentian tersebut (Ayat 6 Pasal 7B UUD 1945). Kemudian yang lagi-lagi tidak mudah pada tahap akhir ini adalah putusan MPR itu harus diambil dalam sidang paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 jumlah total anggota MPR, dan disetujui oleh minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir (Ayat 7 Pasal 7B UUD 1945, lihat juga UU 27/2009 Pasal 35, 36, 37). Berdasarkan kalkulasi ini, serta proses konstitusional yang berliku dan panjang, tentu memungkinkan terbukanya ruang prosesi bagi aneka rupa langkah politik interventif. Dan jelas, sepertinya jalan menuju pemakzulan itu memang tidak mudah. Sungguh semakin tak mudah jika variabel-variabel politik “dagang sapi”, “tawar-menawar”, “barter kasus” dan yang sejenis itu—yang belakangan mulai mengorbit—juga turut dihitung. Makanya, kepada mereka yang memilih sekuel pertama bersiaplah untuk kecewa.

Lalu seberapa besarkah peranan masyarakat, yang telah terbukti berhasil memberikan tekanan politik kepada pemerintah dan parlemen? Seperti dalam kasus dugaan kriminalisasi pemimpin KPK (dimana karena kekecewaan politik, masyarakat kemudian bergerak menggalang kekuatan dan turun mengibarkan gerakan ekstra-parlemen)? Apakah dalam Skandal Century gerakan ini bisa berulang, dan efektif? Tapi sebelumnya, seberapa kuatkah gerakan dalam barisan ekstra-parlemen ini? Sebab, mereka harus menghadapi kekuatan “masyarakat” yang mendukung pemerintah. Jika kekuatan mereka biasa saja dan berimbang, maka jalan menuju pemakzulan akan pupus dan sia-sia. Karena walaupun proses ke sana nampak nyata, namun terlampau panjang. Dengan senyum saya berucap, “bagai jalan tol saja”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar