Minggu, 18 April 2010

Ada Apa Dengan Indonesia?

Oleh: Elfitria Kusumawati

Dewasa ini, Indonesia semakin tampil di kancah internasional. Dalam kasus korupsi, Indonesia menempati ranking ke-3 besar dunia. Bahkan kondisi ini, semakin mendorong kepopuleran Indonesia di kalangan akademisi dunia, termasuk akademisi di Harvard University. Di universitas ini, kondisi kritis Indonesia menjadi suatu bahan kajian, khususnya berkaitan dengan masalah pendefinisaian kata korupsi. Entahlah, kondisi ini bisa dipandang masalah atau sebuah prestasi. Lepas dari itu semua, korupsi jelas masih mendominasi dan bercokol di negara Pancasila ini. 

Indonesia tentu sadar bahwa kondisi minus (penuh korupsi) ini memperburuk citra di mata dunia. Berbagai upaya telah dilakukan, bahkan pemberitaan tindakan korupsi, informasi sanksi bagi para koruptorpun sudah menjadi menu media masa Indonesia. Lepas dari sanksi sosial melalui pemberitaan media (ter-ekspose), fakta menunjukan bahwa para koruptor Indonesia sudah banyak yang diproses secara hukum, dan bahkan ada diantaranya telah divonis dan menjalani hukuman. Namun tetap saja, perilaku korup di Indonesia tetap berlanjut dan pelakunya pun masih jauh dari kata jerah.

Indonesia terkenal sebagai negara yang ramah. Apakah karena predikat keramahannya, sehingga korupsipun masih mendapat porsi toleransi? Sebab, niscaya tiada toleransi, sebab fakta memperlihatkan prestasi koruptif semakin tinggi dan terlihat cemerlang. Sebenarnya apa yang menjadi keistimewahan korupsi, hingga orang ternama di Indonesia juga tergoda masuk dalam lingkaran korupsi? Inilah retorika yang perlu kita renungkan.

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dikatakan juga bahwa perilaku (korupsi) ini sering dilakukan dan dikaitkan dengan pejabat publik (pejabat pemerintahan), yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya pelaku korupsi dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan. Menurut Brooks, korupsi merupakan suatu kesengajaan untuk melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahuinya merupakan kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi. Menurut KBBI (2008: 756), makna korup ialah buruk; rusak; busuk; suka menerima uang sogok; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Singkatnya, korupsi adalah perbuatan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan sendiri; tindakan menggelapkan uang atau menerima uang sogok.

Ketiga perspektif korupsi diatas hanyalah sebagian yang bisa dipaparkan. Namun, jika semua pihak mengerti esensi korupsi, tentu kita akan menghindarinya. Sebab, siapa yang mau berpredikat perusak, pemutarbalik fakta, atau bahkan pembusuk? Semua orang yang waras akan menolak predikat itu. Tindakan korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan yang dilakukan demi kepentingan pribadi. Jadi, dengan kata lain, seperti definisi KBBI, bahwa pribadi pelaku korupsi adalah sebuah parasit yang biasanya hidup dengan mengisap makanan dari organisme lain yang menjadi tempatnya menempel; orang yg hidupnya menjadi beban (membebani) orang lain (KBBI, 2008: 1053).

Dalam pengertian lain dikatakan bahwa pelaku korupsi adalah orang yang memiliki kekuasaan publik, yaitu para pejabat yang dengan tidak legal menggunakan kekuasaannya. Apa sebenarnya yang menjadi penyebab para pejabat melakukan korupsi? Apakah karena adanya budaya feodal, yaitu seorang pemimpin harus kaya dengan cara menerima upeti? Namun, bagaimana penguasa yang sudah memiliki banyak harta, bahkan tidak akan habis untuk tujuh turunan, namun masih melakukan korupsi? Dan dalam konteks Indonesia, bukankah masyarakat kita dikenal dengan kegotong-royongan dan kekeluargaan? Kemanakah semua tradisi baik ini, sehingga korupsi yang bertentangan pun masih bercokol?
Menurut Jack Bologne, penyebab korupsi ada empat, yaitu 1) Keserakahan atau kerakusan (Greed) para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas terhadap keadaan dirinya. Memiliki satu gunung emas, berhasrat punya gunung emas yang lain. Mempunyai harta segudang, ingin punya pulau pribadi. 2) Terkait dengan sistem yang memberi lubang atau peluang (Opportunity) terjadinya korupsi. Sistem pengendalian tak rapi, yang memungkinkan seseorang bekerja asal-asalan. Mudah timbul penyimpangan. Saat bersamaan, sistem pengawasan tak ketat. Orang gampang memanipulasi angka. Bebas berlaku curang. Peluang korupsi menganga lebar. 3) Need, berhubungan dengan sikap mental yang tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak pernah usai. 4) Exposes, berkaitan dengan hukuman pada pelaku korupsi yang rendah. Hukuman yang tidak membuat jera pelaku korupsi atau Deterrence effect yang minim. (http://psikologipro.wordpress.com)

Ungkapan penyebab korupsi Jack Bologne dapat dikelompokan menjadi dua aspek utama, yakni Diri (meliputi Greed dan Need) dan Luar Diri (meliputi Opportunity dan Exposes). Indonesia masih mengembangkan penanggulangan korupsi pada aspek luar Diri, dan sejauh ini terbukti apa yang dilakukan masih belum membawa Indonesia keluar dari prestasi teratas korupsi. Oleh karena itu, diperlukan tindakan lain yang mampu menyentuh ke dalam aspek Diri. Pembinaan moral dan iman bagi pelaku korupsi waktu dipenjara adalah salahsatu cara yang bisa dilakukan.

Menurut Abraham H. Maslow dalam George R. Terry dan Leslie W. Rue (2005: 173), kebutuhan dasar manusia itu berjenjang, mulai dari kebutuhan yang terendah, yaitu kebutuhan jasmani seperti memenuhi rasa haus dan lapar (Physiological Wants). Kemudian pemenuhan kebutuhan meningkat kepada pemenuhan kebutuhan yang lebih tinggi, yaitu kebutuhan keamanan (Safety Wants), kebutuhan untuk diterima oleh lingkungan (Social Wants), kebutuhan prestis, keberhasilan dan harga diri (Ego Wants) dan kebutuhan yang tertinggi, yaitu kebutuhan untuk merefleksikan diri (Self Fulfillment Wants). Dari kacamata teori ini, ternyata dilakukan hanya untuk memenuhi dua kebutuhan yang paling bawah, yang seharusnya dilakukan oleh lapisan masyarakat biasa. Lalu bagaimana dengan orang yang kaya, berpendidikan, dan berkedudukan namun masih melakukan korupsi? Berdasarkan teori Jack Bologne, dalam aspek Diri yang masih tersisa ialah keserakahan atau kerakusan (Greed).

Sebenarnya, sistem hukum di Indonesia sudah cukup baik, setidaknya di atas kertas, terkait dengan ketegasan konsep-konsep sanksi. Namun, pelaksanaannyalah yang masih bermasalah. Untuk menegakan suatu aturan, kita membutuhkan pribadi-pribadi berintegritas dan mampu mengendalikan diri. Dengan dua syarat kepribadian inilah baru jaminan penegakan hukum bagi koruptor bisa dicapai. Dan sayangnya, di Indonesia, mencari orang-orang demikian terasa masih sulit. Selain itu, umumnya sanksi yang diberikan juga ringan, dan tidak menghukum. Banyak kalangan menilai hukuman yang diberikan tidak cukup berat, dan membuahkan jerah bagi koruptor. Sampai-sampai karena kurang tegasnya sanksi, ada lelucon mengatakan, “lebih baik korupsi daripada jadi maling ayam”. Ya, komentar ini muncul karena umumnya sanksi bagi pencuri ayam masih lebih berat dibandingkan dengan penjahat kelas koruptor. Ironis! 

Membangun Kepribadian
Kepribadian seseorang dipengaruhi erat oleh konsep dasar membangun diri. Untuk memperolah konsep dasar yang benar dalam membangun diri, seseorang harus memiliki pengetahuan yang benar mengenai keberadaannya. Konsep diri ini penting, sebab berkaitan erat dengan keberadaan manusia di tengah dunia ini. Dan salah satu konsep diri adalah kejelasan tujuan hidup atau keberadaan manusia atau diri di dunia ini. Ketika seseorang memiliki konsep mengenai tujuan hidup yang benar, seseorang tidak akan menghabiskan hidupnya dengan melakukan tindakan-tindakan menyimpang, seperti korupsi. 

Tujuan berkaitan dengan capaian atau keberhasilan. Keberhasilan dapat diukur kalau ada tujuan. Apa tujuan hidup yang menjadi tolok ukur keberhasilan hidup manusia? Keberhasilan hidup seseorang tidak diukur melalui harta yang dimilikinya, tetapi terlebih melalui bagaimana seseorang tersebut mampu dan menilai kehidupannya dengan benar. Dalam pengertian ini, orang disebut berhasil kalau mampu memahami tujuan hidup, lalu melakukannya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak semua orang mampu memahami makna atau tujuan kehidupannya walaupun telah memiliki harta yang berkelimpahan. Berbeda dengan orang yang memiliki kejelasan tujuan hidup. Tidak sedikit orang yang ketika memiliki harta berkecukupan, ataupun berkekurangan, namun karena memiliki konsep hidup yang benar, dia mampu menjalani hidup ini dengan indah dan bermanfaat. Kehidupan ini bisa dia dijalani dengan penuh sukacita dan ucapan syukur. Singkatnya, sesungguhnya dengan atau tanpa harta yang berkelimpahan, tetapi jika memiliki konsep hidup dan prioritas hidup yang benar, seseorang dapat dikatakan berhasil dalam menjalani kehidupannya. Carilah dan milikilah konsep hidup yang benar itu. Etika Kristen menjelaskan, manusia disebut berhasil dalam hidup jika mampu melakukan kehendak Tuhan, dan memuliakan dan menikmati Dia senantiasa. Jika kehidupan yang dijalani bersifat parsial, tanpa ada hubungannya dengan Tuhan, maka kehidupan itu jelas mengalami kegagalan. Korupsi jelas menjauhkan kita dari relasi dengan Tuhan, dan tidak memuliakan Dia. Maka, bagi kita yang ingin memuliakan Dia dalam hidup, kita akan menghindari untuk melakukan korupsi atau penyimpangan lainnya. 

Selain itu, seseorang memiliki kesempatan hidup hanya satu kali. Oleh karenanya, memilih komunitas yang benar akan melahirkan pengalaman hidup yang berharga; tidak sia-sia. Komunitas dan sistem yang baik akan menolong kita untuk belajar bersikap benar, dan tidak menyimpang. Ketika sudah memiliki konsep diri yang benar, ditopang oleh sistem komunitas yang benar, maka seseorang tidak akan mudah melakukan hal-hal yang menguntungkan hidupnya, namun merugikan orang lain, komunitasnya, bahkan bangsa dan negara. Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah yang menjadi konsep hidup masyarakat, dan para pemimpin Indonesia? Apakah yang menjadi tujuan hidupnya?
Berdasarkan survei kepemimpinan J. Robert Clinton, terdapat lima titik jatuhnya pemimpin di Amerika, yaitu: hubungan seksual, kekuasaan, kesombongan, keluarga, serta sikap terhadap uang dan penggunaannya. Apakah pemimpin bangsa ini juga mengalami masalah yang sama? Masyarakat akan menjadi saksi hidup, dan mengawasi perjalanan bangsa ini. Dan semoga para pemimpin kita tetap bisa diteladani, tidak jatuh pada persoalan pokok kejatuhan pemimpin ala-J. Robert Clinton, termasuk tidak jatuh untuk melakukan KORUPSI. Harapan!

Referensi:
1. George R. Terry dan Leslie W. Rue, Dasar-Dasar Manajemen, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2005.
2. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008.
3. http://psikologipro.wordpress.com, wikipedia, diakses 19/03/2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar