Senin, 22 Maret 2010

Apa Makna Sumpah Mu?

Oleh: R. Graal Taliawo

Memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Pahlawan, media massa dipenuhi beragam pendapat. Ada yang mengangkat nilai semangat, namun ada pula yang mempertanyakan relevansi semangatnya. Semua apresiasi bertujuan menggugah generasi muda agar bangkit, dan menyumbangkan sesuatu bagi perbaikan bangsa.

Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa adalah seruan, dan komitmen (SUMPAH) yang dicetuskan pemuda pada waktu itu. Sebagai ”SUMPAH” menandakan pernyataan ini bukanlah hal yang main-main. Mereka konsisten dengan yang dikomitmenkan, dan dibuktikan dengan kemerdekaan yang dihasilkan kemudian hari. Kondisi hidup mereka pun sungguh jauh dari menyenangkan, berjuang tanpa gaji atau diikat oleh upah yang menjanjikan. Bagi mereka, merdeka dan hidup mandiri adalah alasan yang cukup untuk berjuang.

Komitmen dan semangat heroik ini sungguh berbeda jika dikontraskan dengan kondisi umum generasi sekarang. Politisi muda misalnya, takkala jabatan diperolehnya, janji kampanye yang sesungguhnya adalah komitmen (SUMPAH) menghilang dan tak membekas. Sumpah para pejabat saat dilantik pun kini bukan hal sakral yang bisa dipegang. Sumpah mengalami reduksi dan menjadi kebiasaan yang tanpa makna. Sumpah yang dulunya menjadi ucapan ampuh, kini sama saja dengan hujatan saat berada di depan peradilan. Masih perlu kah bersumpah, jika ternyata kini sumpah hanya sebagai formalitas saja? Apa guna bersumpah jika setiap kesaksian dipengadilan adalah ucapan kebohongan belaka? Apa gunanya bersumpah jika setiap putusan adalah hasil kompromi politik? Sungguh luar biasa bangsa ini, maka wajar jika kita diterpa berbagai bencana dan menjadi bangsa yang seakan mundur beberapa langkah.
Kebenaran meninggikan bangsa dan dosa membuat kemunduran, artinya suatu bangsa akan mengalami kebangkitan jika kebenaran ada dan menjadi tuan. Namun melhat hiruk-pikuk bangsa Indonesia, sepertinya ketidakbenaran masih menjadi tuan kita. Maka jangan heran jika kemunduranlah yang kita petik.

Sungguh mencegangkan melihat dinamika hukum dan politik sekarang. Berbagai kasus suap dan manipulasi kesaksian dan kasus dilakukan oleh orang-orang yang pernah dan bahkan menghapal isi dari sumpah jabatannya. Bersumpah untuk bertindak sesuai hukum, namun sekarang yang terjadi adalah hukum disesuai dengan orang yang bertindak. Hukum dipermainkan oleh penegak hukum, dan hukum dipakai untuk menindak kebenaran. Inilah bukti jika ketidakbenaran sedang menjadi tuannya.
Quo Vadis bangsa ini? Demikian pertanyaan yang relevan bagi kita. Mau ke mana bangsa Indonesia jika hukum yang menjadi pagar bagi arah perjalanan telah dirusak? Hukum yang menjadi dasar pijakan hidup kita hanya berkutat pada unsur normatif dan lepas dari unsur substansinya, yakni keadilan?

Kutuk dan semua pertanyaan miris ini muncul, diakibatkan oleh adanya sikap main-main dengan SUMPAH yang diucapkan para pejabat dan pemimpin bangsa ini. Dan lebih-lebih oleh kita yang sering juga bersumpah. Bukankah kita setiap hari senin atau dalam kegiatan tertentu bersumpah dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya? Betapa sering kita mengucapkan kata dalam bait...di sanalah aku berdiri jadi pandu Ibuku...Tapi berapa benyak di antara kita, generasi muda yang sudah mempersiapkan diri untuk menjadi pemandu-pemandu bangsa yang berkualitas? Apakah kita sudah sering membaca-menulis, memperlengkapi diri untuk menata masa depan bangsa yang lebih baik? Seberapa banyak aktivitas yang kita lakukan yang diorientasikan untuk masa depan bangsa, dibandingkan dengan tujuan-tujuan pribadi kita (dapat nilai, kerja, dapat duit, dan selesai)? Artinya bukan hanya pejabat, namun masyarakat dan mahasiswa pun ikut-ikutan bermain dengan Sumpah! Sehingga wajar jika berbagai musibah, dan ketidakberhasilan pembangunan menerpa bangsa ini.

Padahal jelas Sumpah adalah komitmen yang bukan hanya terlihat oleh manusia, namun terdengar oleh PENCIPTA. Di sinilah letak signifikansi makna dari Sumpah, yakni komitmen yang diikat oleh dan dengan Pencipta. Maka kutuklah yang kita peroleh jika setiap orang yang mengucapkan sumpah bersikap asal-asalan dan bermanipulasi dengan Pencipta.
Mengapa kemerdekaan bisa kita raih? Salah satunya karena adanya keseriusan sikap generasi dan pelaku (pahlawan) sejarah Indonesia pada waktu itu dalam memandang dan memaknai ucapan ber-Sumpah. Mereka serius dan sungguh-sungguh, sehingga bisa jadi saat Sumpah Pemuda dilakukan, ada begitu banyak air mata yang berlinan. Bukan karena cenggeng, namun karena ada kesungguhan dalam mengucapkannya.

Sumpah yang merupakan hal serius perlu dikembalikan pada fitrahnya. Sebagai komitmen, sumpah tidak boleh diucapkan asal-asalan dan sambil lalu. Memerlukan sikap serius dan penuh kesungguhan dalam mengucapkan (bukan kata-katanya yang benar) dan perlu komitmen untuk melakukan. Jika tidak perlahan tapi pasti bangsa ini akan terus mengalami kemunduran dan menjadi bangsa yang terhilang. Harapan!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar