Senin, 22 Maret 2010

Degradasi Patriotisme

Oleh: Mardiks Ludwik S.

Tidak asing bagi kita mendengar kata “PATRIOTISME”. Kita sering mendengarkan, bahkan mempelajarinya sejak di bangku sekolah dasar. Tapi apakah dengan demikian menjadikan kita orang-orang yang patriot? Atau justru karena tidak asing, membuat kita memandang hal ini sebelah mata dan meremehkannya?

Seringkali makna patriotisme hanya dikaitkan dengan perang, perang, dan perang. Jelas hal ini mereduksi makna patriotisme, padahal tidak sesempit itu makna sesungguhnya. Patriotisme merupakan salah satu wujud kecintaan dan kesetiaan pada bangsa tertentu. Peduli dan tanggung jawab atas keadaan dan kemajuan tanah air termasuk dimensi konstitutif patriotisme. Keunikan, kekuatan dan prestasi tanah air tetap dipelihara moralitas dan kearifan lokal sebuah bangsa itu disegani dunia. (A MacIntyre, Is Patriotism a Virtue ?, 2003, 286 – 300).

Sebelum Sumpah Pemuda dicetuskan, segala pergerakan pemuda Indonesia pada awal abad ke-20 sangat diawasi Politieke Inlichtingen Dienst (PID, sejenis badan intelejen politik di Hindia Belanda), bahkan begitu menegangkan. Dengan berbagai cara dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memecahkan persatuan anak bangsa. Salah satunya dengan mempetakan para pemuda dengan menanamkan identitas etnik seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Minahasa, dll. Tetapi karena telah mengenyam pendidikan yang baik dan mempunyai rasa tanggung jawab atas apa yang dimilikinya, kesadaran akan persatuan tetap lahir dan berdiri kokoh. Kesadaran ini seperti dikatakan filsuf Ernest Renan merupakan hasrat hidup bersama. Dari sinilah cikal bakal lahirnya bangsa Indonesia.

Melihat kondisi generasi muda sekarang, tentu kita sedih dengan apa yang terjadi. Generasi sekarang lebih suka bersikap pragmatis, dan bahkan sikap patriotisme pun seakan memudar. Bagaimana tidak, jika konsumsinya ialah hiburan-hiburan yang tidak menanamkan rasa cinta terhadap tanah air, kering semangat kebangsaan dan nilai-nilai bangsa Indonesia. Akibat, dan bahkan yang mengerikannya, untuk mengatakan “Saya bangga menjadi anak Indonesia“ pun mereka dan kita malu melakukannya. Media massa, khususnya televisi di Indonesia bisa dikatakan tidak mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ini tercermin dari berbagai produk acara hiburan yang disajikan. Acara-acara yang disuguhkan tidaklah mendidik, dan jutru mengarahkan kita kepada paham-paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia.

Apa yang menjadi akar semua ini? Individualisme, Materialisme, dan Hedonisme. Inilah paham-paham yang menjadi sumber masalah di atas. Tak dipungkiri lagi bahwa bangsa kita telah terjebak pada sikap Antroposentris (semua berpusat pada “saya“). Akibatnya korupsi terjadi di semua jajaran pemerintahan, angka pengangguran yang tinggi, perceraian yang membudaya, kebiasaan tawuran antar pelajar, dll. Pertanyaannya, apakah semua ini bisa dibanggakan?

Ungkapan “Pengetahuan adalah kekuatan“ yang disuarakan Francis Bacon membuat para tokoh pemuda seperti Ir. Soekarno, Moh. Hatta dan Moh. Yamin tergerak untuk terus membaca dan berkarya. Sjahrir yang membaca Imannuel Kant, Karl Marx, Jhon Stuart Mill hingga Ortega G. Yasset mengarahkannya bahwa pandangan bahwa “Timur makin memerlukan ilmu pengetahuan dan rasionalisasi barat, sehingga tidak lagi memerlukan mistisisme dan kepasrahan yang membuatnya menderita”. Haruslah membaca menjadi budaya di bangsa ini. Karena salah satu sumber ilmu pengetahuan ialah pemikiran-pemikiran yang tertanam di ujung-ujung pena. Dan itu hanya bisa diperoleh melalui membaca. Dengan aktivitas ini, pemuda akan dijadikan pribadi yang berpikir terbuka tapi kritis.

Namun bagaimana menjadi kritis? Tentulah harus dengan pengajaran yang benar. Semua harus kembali kepada Tuhan. Karena oleh Dia, kita beroleh pengetahuan. Sebab ada tertulis “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan”.

Sebagai penutup, seringlah bertanya “Apa maksud-Nya, saya dilahirkan di negeri ini (Indonesia)? Dan apa yang harus saya perbuat bagi bangsa ini? Sehingga pada akhirnya satu pernyataan yang keluar dengan penuh kebanggaan dari mulut kita, “Saya bangga menjadi anak Indonesia”. Soli Deo Gloria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar